10 tahun sudah
Sebuah Cerita Pendek
Petang tiba, aku mencium aroma khas kopi yang sedang diseduh. Dari balik jendela dapur aku memperhatikan gelagatmu. Sepertinya kau sedang menyiapkan kopi dan pisang goreng untuk kita nikmati. Aku terhenti sejenak dari aktivitasku. Sejak pagi begitu terik hingga menuju sore. Pisau cangkul yang kugunakan tampak mengkilap diasah tanah yang kering. Sepertinya akhir musim kemarau sedang diujung ufuk. Aku memandang sekeliling. Barisan bedeng tanah tampak menuju selesai. Meski tak begitu luas, lahan sempit dibelakang gubuk kecil itu memberi banyak arti kehidupan. Ya, sepuluh tahun sudah berlalu, dan kau masih setia dengan sajian kopi yang kusuka.
*
Aku menghentikan aktivitas mencangkul yang sudah kukerjakan sejak pagi yang terik. Dari balik baju lusuh menguarkan aroma asam. Aku menunggumu membawa sepiring pisang goreng dan kopi nikmat yang tak pernah kusesali. Beberapa saat tampak dari balik dapur gubuk itu kau datang dengan senyum. Seperti dugaanku yang kuharapkan akhirnya kau bawa. Tenaga serasa kembali saat kehadiranmu. Sepuluh tahun sudah hidup berjalan seadanya dalam senyum yang sahaja.
Sekelebat, aku menerawang dibalik jingga yang cantik. Terkadang aku lupa bahwa kita pernah sarjana. Bahwa aku dan kau pernah jauh di kota, menikmati kota dan segala sudutnya bertahun lalu. Bagaimana cinta dan kenaifan kota kita jelajahi menuju sesal-sesal kecil dan kesadarannya. Sepuluh tahun sudah berlalu semenjak itu. Kini, aku dan kau berada disini. Jauh disudut kampung yang tak ramai walau tak begitu tertinggal. Sebuah gubuk sederhana mengayomi jiwa kita dan sepetak lahan kecil dibelakangnya menghidupi raga kita. Tak begitu menyenangkan terkadang, tapi jiwa kita menempa dirinya. Kampung adalah hidup kita kini, sepuluh tahun sudah. Pelan-pelan sarjana kulupakan. Kuduga kau pun demikian.
**
Akhirnya, pisang goreng buatan tanganmu kunikmati. Rasanya tak pernah berubah sejak kau bersedia menyajikannya untukku. Begitu juga dengan seduhan kopi yang takaran kopi serta gulanya kutentukan tak pernah luput dari ingatanmu. Perlahan kau juga menikmatinya dalam pulas senyum diam. Aku tak berani bertanya kebahagiaan padamu, yang kutahu dan pasti sepuluh tahun sudah kita melalui hidup bersama. Kuperhatikan tubuh kita tak begitu indah lagi. Begitu pula sandang yang tergantung. Kau tak pernah memperdulikan itu, atau setidaknya aku tak berani mempertanyakan itu padamu.
Langit di atas gubuk kita begitu jingga. Khas langit dihujung musim kemarau. Aku memperhatikan gurat wajahmu. Semakin banyak dan khas. Sepuluh tahun sudah semesta mendidik kehidupan, sebuah kesadaran. Darimu aku belajar, sebuah makna dari kata cinta dan kesadaran. Sepuluh tahun sudah dan tahun-tahun tetap berlarian menuju senja. ***
Komentar
Posting Komentar