Demokrasi yang Sentimen

"Demokrasi adalah proses dimana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan." (Bertrand Russell, Filsuf dan Ahli Matematika Inggris / 1872-1970)

*
Hingga hari ini, tak dapat dielakkan bahwa sistem demokrasi memang masih menjadi andalan banyak negara dalam menyelenggarakan sistem pemerintahannya. Demokrasi yang berpegangan pada kekuatan supremasi hukum dan kesadaran akan HAM (Hak Asasi Manusia) menjadikan sistem ini memungkinkan diterima banyak orang dan negara dalam berbagai latar belakang dan kondisi demografi.

Pada sistem demokrasi, nilai dari rakyat adalah kekuatan dan standar terbesarnya sebagai prinsip dasar dari demokrasi itu sendiri yang mengutamakan kepentingan orang banyak (nilai utilitas) sehingga dalam menentukan pilar-pilar fungsi sistemnya pun didasarkan pada pilihan rakyat yang diselenggarakan dalam bentuk pemilihan umum/raya. Hal ini menjadi asas setiap orang dalam sistem demokrasi memiliki hak yang sama dalam berkontribusi dan berpartisipasi untuk menyelenggarakan demokrasi negara dan seyogyanya demikianlah sistem demokrasi itu berjalan.

**
Sebagai akibat banyaknya latar dan kondisi demografi setiap negara yang menganut sistem demokrasi, membuat demokrasi pun mencair berdasarkan kebutuhan masing-masing negara. Hingga muncul berbagai spesifikasi turunan dari demokrasi itu sendiri diberbagai penerapannya pada suatu negara, seperti Amerika Serikat yang menerapkan sistem demokrasi-liberal, atau beberapa negara di Eropa yang bercampur dengan monarki dimana kepala negara adalah raja dan kepala pemerintahan dipilih melalui demokrasi serta pemerintahan dijalankan dengan demokratif, dan Indonesia sendiri juga menganut sistem demokrasi dalam perjalanan panjang sejarah pengelolaan negaranya yang sempat beberapa kali mencoba bermacam formula sistem ideologi negara yang ada seperti demokrasi parlementer hingga demokrasi terpimpin, namun akhirnya sistem demokrasi-pancasila menjadi wajah khas demokrasi Indonesia yang setiap hari berusaha untuk diterapkan dan diwujudkan di wilayah negara Indonesia.

Dalam perjalanannya, sistem demokrasi yang dianut oleh Indonesia banyak mengambil nilai prinsip kesadaran atas asas nilai guna (utilitas) yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham pada abad ke 17 yang disebut dengan utilitarianisme (teori suatu etika normatif yang menyatakan bahwa suatu tindakan yang patut adalah yang memaksimalkan penggunaan (utility), biasanya didefinisikan sebagai memaksimalkan kebahagiaan dan mengurangi penderitaan), yang pada akhirnya kepentingan mayoritas menjadi keutamaan dalam pemenuhan kebutuhan politik maupun sosial di Indonesia walaupun kebutuhan minoritas tetap menjadi acuan hak asasi politis kebijakannya namun secara umum kebijakan publik dicapai melalui konsep utilitarianisme ini.

DEMOKRASI INDONESIA DEWASA INI

Berbicara demokrasi di era kepemimpinan Soeharto memang sedikit banyak mengalami kerumitan untuk mencari benang merahnya. Bila bertolak pada demokrasi yang normatif tak dapat dikatakan demikian faktanya sebab kecenderungan otoriter sehingga dapat dikatakan era Soeharto bukanlah masa demokrasi Indonesia. Namun, setelah reformasi '98 Indonesia mengalami metamorfosa besar-besaran dalam sistem pemerintahan Indonesia yang dimulai oleh pengganti konstitusional Soeharto yaitu B.J Habibie yang juga menjadi wakil terakhir Soeharto selama berkuasa 32 tahun. Beliau memulai dengan menghapus fungsi politis militer didalam pemerintahan yang sebelumnya dipakai oleh Soeharto sebagai tombak pertahanan kekuasaan otoriternya. Demokrasi memang berjalan dimasa Soeharto namun semua hanya dalam formalitas konstitusi sehingga demokrasinya hanyalah label produk pemerintahan.

Indonesia adalah salah satu negara terbesar di dunia yang mayoritas masyarakatnya memeluk kepercayaan dan agama. Tercatat ada 6 agama resmi dunia dan terbaru ini pemerintah mengesahkan kepercayaan lokal sebagai bagian dari hak konstitusional rakyatnya. Hal ini menjadikan agama sebagai salah satu kekuatan terbesar dari politik demokrasi Indonesia. Bahkan partai-partai perwakilan yang ada di Indonesia beberapa memakai ideologi agama sebagai landasan ideologi partainya. Dalam konteks utilitas yang dianut dalam prinsip demokrasi Indonesia, hal tersebut adalah sumber kekuatan besar politik dalam kontestasi demokrasi. Namun, basis kekuatan politik tersebut membuat celah besar di tubuh demokrasi yang sifatnya sentimen. Mengapa hal demikian dapat terjadi?

Dewasa ini, bila kita mengikuti atau sekedar melihat perjalanan kontestasi politik Indonesia kita akan dengan mudah membuat sebuah kesimpulan sederhana yakni politik Indonesia dikotori sentimen-sentimen agama sebagai motor penggerak mobilisasi massanya. Tidak perlu kajian mendalam untuk melihat fenomena tersebut, di media sosial terkhusus media elektronik bertebaran hal-hal berbau sentimen agama yang tendensius hanya demi membuat lingkaran massa.

Demokrasi secara asasi memang menjadikan siapapun memiliki hak yang sama secara politik untuk terlibat dalam menyelenggarakan negara. Hal tersebut membuat setiap orang berbondong-bondong mencoba peruntungan dalam kontestasi politik negara. Prinsip utilitas kembali menjadi acuan legitimasi politik dalam wujud pemilihan umum (Pemilu) membuat setiap orang yang ingin berkompetisi mengisi fungsi-fungsi negara baik legislatif, yudikatif, maupun eksekutif memakai sumber daya apapun untuk mendapatkan suara rakyat yang menjadi modal mutlak dalam keabsahan kemenangan kontestasi politik demokrasi Indonesia termasuk politik agama. Tokoh-tokoh politik Indonesia juga mencoba mencoba meraih bahkan merebut suara rakyat dengan pola-pola informasi berbau agama. Alhasil sentimen-sentimen agama tidak dapat dielakkan.

Indonesia yang lama bermain dalam politik pemerintahan otoriter Soeharto meninggalkan banyak sisa mental-mental yang merugikan demokrasi yang sehat sehingga upaya-upaya untuk merekontruksinya seakan lambat akibat lemahnya kesadaran akan kebutuhan demokrasi sehat tersebut. Hal ini ditenggarai banyaknya sisa-sisa kepentingan politik yang masih membudaya di Indonesia. Politik pragmatis muncul akibat hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan kekuasaan dan dewasa ini isu agama menjadi motor penggeraknya. Masyarakat menjadi terlibat pusaran politik tersebut dan terpecah belah.

Demokrasi era Soeharto bukanlah "kambing hitam" dari runyamnya politik Indonesia tapi upaya-upaya pemenuhan demokrasi tersebutlah yang menjadikan para penggiat politik tersebut menjadi pragmatis dalam menjalankan demokrasi yang baik dan sehat. Dan hal-hal tersebut berlanjut hingga dewasa hari ini. Bahkan kecenderungan meningkatnya sentimen-sentimen agama tersebut semakin menguat membuktikan demokrasi Indonesia tidak menuju tubuh yang sehat. Kesadaran akan kepentingan bersama secara umum dilupakan demi pemenuhan kekuasaan. Pernyataan ini hanya dalam konteks yang sangat sederhana, bila dipaparkan lebih dalam bahkan lebih ekstrim lagi dalam arti sebenarnya.

Demokrasi seharusnya adalah upaya-upaya pembelajaran terus-menerus dari fenomena sebelumnya itu yang membuat demokrasi bukan sistem yang absolut dan selalu menuntut perubahan sepanjang kebutuhan akan demokrasi itu sendiri. Namun, naluri akan kekuasaan seperti menghilangkan nilai logis tersebut. Sentimen-sentimen agama bukanlah hal baru dalam politik Indonesia bahkan sejak kepemimpinan Soekarno hal tersebut telah terjadi dalam tubuh politik. Namun, sekan hal tersebut dijadikan peluru bagi peraih kekuasaan alih-alih ingin dijadikan pelajaran. Masyarakat yang ikut terlibat dalam euforia politik yang diciptakan tokoh-tokoh politik dibuat menjadi emosional dan sentimen. Perpecahan tak berdasar menjadi tercipta ditengah masyarakat bahkan berkecenderungan menjadi anarkis. Hal ini sangat disayangkan namun harus dihadapi.

Edukasi politik sehat harus selalu diswadayakan ditengah masyarakat agar pemulihan tubuh demokrasi Indonesia dapat terjadi, bila tidak yang ada hanyalah sentimen yang merugikan masyarakat itu sendiri. Banyak hal dapat dilakukan oleh siapa saja sebagai hak asasi politis rakyat temasuk mengedukasi melalui tulisan. Bila edukasi dapat berjalan masif niscaya pola politik Indonesia yang sarat akan nilai politik pragmatis seperti politik uang (money politic) dan sentimen-sentimen agama dapat dihindari masyarakat dengan sikap yang dewasa.

Semoga demokrasi Indonesia menuju kebajikan dan kemuliaan bagi bangsa seperti harapan dan mimpi para pendiri bangsa Indonesia. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel