Hidup Dalam Paradoks
Di zaman postmodernisme dewasa ini, kita hidup dalam kebingungan modernitas. Banyak pro-kontra yang mengiringi bagaimana kemajuan peradaban itu berjalan. Ada yang mengatakan teknologi justru menggerogoti kealamian hidup kita dan juga yang mengatakan bahwa kita yang salah paham dengan hadirnya teknologi.
Teknologi memang tidak dapat dilepaskan dari peradaban manusia itu sendiri. Teknologi adalah wujud dari produk kehidupan akal manusia. Dengan demikian teknologi adalah sejatinya alat manusia untuk tetap mempertahankan peradabannya. Bila kita juga menilik dengan baik sebenarnya teknologi hadir justru karena kebutuhan kita sendiri. Lantas mengapa dalam realitasnya justru terjadi ketimpangan?
Sejak era poststrukturalisme menguat di era modern didorong pertumbuhan teknologi yang sedemikian rupa membuat identitas-identitas lokal bukan lagi hal yang penting. Orang-orang telah hidup dalam lingkaran konektivitas dunia yang disokong teknologi baik komunikasi maupun transportasi yang mencuatkan mobilitas manusia tanpa batas. Dengan demikian kita menuju identitas universal sebagai warga dunia yang membuat kita sulit berbicara identitas-identitas lama yang kita miliki sejak lama bahkan kita gugup untuk menyatakan identitas tersebut. Lantas, bagaimana hubungannya dengan paradoks?
Paradoks adalah pernyataan yang seolah-olah salah dalam realitas namun mengandung suatu kebenaran. Dalam artian diatas berarti kita memiliki banyak realitas kehidupan yang sebenarnya mengandung kesalahan logis namun tetap menjadi kebenaran bagi khalayak umum. Banyak contoh yang bisa kita ambil seperti konteks pendidikan adalah untuk belajar namun realitas kekiniannya justru untuk mendapatkan ijazah dan syarat bekerja. Begitu juga budaya agama yang mapan saat ini hanya menjadi identitas sosial masyarakat saja bukan sebagai wujud spritual manusia, dan banyak konteks realitas sosial lainnya yang terjadi dalam kehidupan manusia.
Dalam peradaban manusia akan selalu ditemukan paradoks-paradoks yang mengiringi kehidupan sosialnya. Seperti orang tak ingin sakit tapi tak sadar akan hidup sehat dan lain sebagainya sehingga sebenarnya manusia seolah-olah mengabaikan kemampuan akalnya untuk mencapai kemampuan maksimalnya bahkan cenderung mengabaikannya. Hal ini banyak faktor yang ditenggarai sebagai kambing hitam (pembenaran red.) semisal faktor ekonomi-politik, budaya-sosial dan bahkan sifat kealamian manusia itu sendiri. Semua hal tersebut dijadikan upaya untuk menghindari kesalahan logis yang tidak menyenangkan.
Arus sosial peradaban turut serta mempengaruhi besar perilaku manusia. Sistem yang diciptakan untuk mengatur kebijakan publik dalam pusaran kepentingan dan kebutuhan justru melenceng atau berupaya digapai dengan cara apapun. Semisal untuk seorang remaja dapat masuk ke dalam sekolah yang unggul dihadapkan pada tahap seleksi normatif agar dapat diterima didalamnya namun, sistem tersebut banyak dipelintir dan dijadikan lahan ekonomi sebagian pihak dengan upaya penyogokan. Realitas seperti ini justru menggerogoti budaya akal manusoa dan sistem itu sendiri. Banyak hal lainnya dalam realitas sosial manusia yang dihadapkan pada situasi tersebut yang kerap kita sebut dengan KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme red.).
Pada dasarnya paradoks muncul dari upaya pikir yang kita miliki. Otak yang menyimpan banyak referensi nilai etis dan estetis akan memberikan percikan tanya bila dalam realitas ditemukan sebuah kesalahan atas etis dan estetis tersebut. Namun sialnya adalah kita mampu menafikan nilai-nilai tersebut oleh banyak kepentingan lainnya seperti yang disebutkan diatas. Masalah urban dewasa ini adalah ketidakmampuan menjalankan sistem yang justru diciptakan peradaban itu sendiri. Faktor paling vital yang mempengaruhi adalah ketidakinginan untuk keluar dari zona berpikir yang konvensional dan berupaya untuk selalu berpikir radikal pada konteks apapun sehingga nilai ukur sulit didapatkan.
Berpikir radikal bukan berarti sesutu yang buruk. Radikal tidaklah dimaknai pada hal yang verbal melainkan pada makna yang etis. Radikal berarti menggebrak kemapanan baik budaya pikir dan perilaku. Dengan demikian kita dapat memberikan sudut nilai lain dari sebuah kemapanan yang niscaya akan menjadi acuan pikir manusia lainnya. Radikal tidaklah dapat dikatakan menyenangkan dan tidak melulu juga hal yang menyakitkan. Radikal adalah berani melawan hegemoni kesalahan publik yang membudaya. Tokoh-tokoh besar sepanjang sejarah manusia merubah revolusi peradaban justru dengan keberanian berpikir radikal tersebut.
Kita akan selalu berhadapan dengan banyak paradoks namun justru hal tersebut menjaga kita untuk selalu dalam situasi berpikir sehingga kita tak hidup seperti layaknya mesin yang konstan dan habis memainkan selalu berevolusi dan berkembang ke arah yang lebih baik.
Paradoks juga tidak dapat dilawan dengan cara-cara yang merugikan orang lain secara fisik dan mental tetapi digerus dengan budaya edukatif yang menumbuhkan peradaban tersebut. Dengan demikian paradoks akan menjadi nilai yang baik bagi evolusi peradaban yang kita jalankan.***
Komentar
Posting Komentar