Buah Simalakama Demokrasi
"Politik praktis memang konsekuensi dari sistem demokrasi. Hal ini memang tidak mampu ditolak sebagai efek dari perguliran birokrasi yang berlaku dalam demokrasi."
*
Bila kita melihat pesta politik di negara kita dalam 10 tahun terakhir atau sejak melambungnya era komunikasi berbasis internet (media sosial red.), otomatis nilai komunikasi dan informasi meningkat tajam ditengah-tengah masyarakat (informasi bertendensi politik red.). Dahulu kampanye konvensional (roadshow keliling kota) dan publikasi-publikasi tradisional (baliho, spanduk, poster, dsb) menjadi andalan utama dalam promosi calon peserta kontestasi politik maupun partai politik, saat ini kampanye via media sosial juga sudah menjadi salah satu alat paling vital dalam kampanye politik.
Bisa dilihat kembali bagaimana pesta demokrasi beberapa pemilihan kepala daerah beberapa tahun belakangan sarat dengan perang-perang informasi yang saling menjatuhkan citra masing-masing lawan kompetisi dan informasi-informasi minim data akurat (hoax red.) yang disajikan untuk dikonsumsi masyarakat pemilih. Alhasil, penggiringan opini rakyat pun tercipta.
Banyak masyarakat dari berbagai kelas pun masuk dalam kelompok-kelompok hasil penggiringan opini ini. Bahkan banyak diantaranya yang berdebat kusir di media sosial dengan sentimen hanya sebagai akibat informasi-informasi minim data tersebut.
Dalam kontestasi politik demokrasi dalam hal ini pemilihan umum, suara rakyat adalah penentu kemenangan mutlak. Suara rakyat menjadi "mahkota emas sepuhan" yang diperebutkan sebagai syarat duduk di kursi singgasana. Sebagai akibat dari hal ini kuantitas suara yang mendukung calon pemimpin maupun teknokrat yang ingin bermain dalam birokrasi harus mengusahakan berbagai cara untuk memenangkan suara pemilih yang ada (rakyat). Inilah politik praktis hasil buah demokrasi.
Memenangkan hati rakyat adalah keutamaan dalam upaya pemenangan kompetisi dalam pesta demokrasi. Hal-hal etis selalu diutamakan dan menjadi acuan dalam nilai-nilai demokrasi yang adil dan santun. Namun, dalam konteks kompetisi ini hal-hal diatas bukanlah hal yang praktis dan instan. Perlu penciptaan citra yang cukup memakan waktu untuk berhasil dalam hal yang disebutkan diatas. Akhirnya cara apapun menjadi sah dilakukan bila dibalik tangan (illegal red.).
Para peserta kompetisi berlomba dengan segala cara untuk menarik simpatik dan euforia rakyat dengan hal yang instan, mulai dari bagi-bagi makanan saat kampanye hingga bagi-bagi amplop sebagai wujud apresiasi kepada rakyat.
Rakyat pun yang minim mendapat edukasi politik yang sehat dan minimnya kontrol dalam sistem pengawasan teknis kampanye politik hanya bersikap oportunis (ambil untungnya saja) dalam menyikapi pesta demokrasi tanpa melihat imbas dari semua konsekuensi itu dalam jangka panjang dan juga merasa tidak pernah merasakan lansung sentuhan implementasi demokrasi itu sendiri.
Bila era lama dan cara tradisional mulai tidak efektif sebagai meningkatnya wawasan umum masyarakat yang dibarengi dengan pertumbuhan media informasi online yang juga meningkat tajam, cara-cara baru pun mulai dibentuk untuk menangkap nilai-nilai simpati rakyat dalam pesta demokrasi, salah satunya adalah penggiringan opini dalam media sosial.
**
Media sosial saat ini dianggap salah satu potensi besar dalam pasar informasi paling digunakan oleh masyarakat. Disamping media sosial sebagai wadah dengan batasan paling kecil juga paling mudah untuk sampai kepada setiap orang secara pribadi bahkan hanya dalam genggaman setiap orang (handphone red.). Hal ini sangat mendukung dalam penyampaian dan publikasi informasi yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang menginginkan mobilisasi opini dari rakyat. Akhir yang dicapai adalah doktrinisasi secara tidak langsung dalam menarik simpatik rakyat.
Mungkin tidak sedikit informasi palsu (hoax red.) dan perang akuntabilitas data politik yang berseliweran di dunia maya yang membuat rakyat gaduh, hingga menjadi tantangan serius bagi stakeholder yang memangku kepentingan negara (birokrat) dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan ada beberapa hoax yang membuat gaduh negara hingga masuk ke ranah hukum. Ini menjadi konsekuensi kebebasan berpendapat era baru yang cenderung kebablasan sebagai akibat tidak diterangi dengan edukasi nilai-nilai informasi positif serta kontrolir pemerintah dalam menanggapi hal-hal yang berbau hoax yang menciptakan kegaduhan ditengah-tengah masyarakat.
Dalam politik praktis era komunikasi digital, penyebaran-penyebaran informasi secara leluasa bukanlah hal yang terlarang, namun nilai informasi yang ingin dilempar ke tengah masyarakat pengguna media sosial haruslah memiliki acuan data akurat bila berisi informasi-informasi bersifat akuntabilitas dan bila bersifat opini haruslah opini yang mandiri dan tidak tendensius serta positif dalam nilainya agar opini yang ingin dicapai hasilnya adalah opini yang "sehat" dan menjadi penambah wawasan umum rakyat yang membangun.
Para peserta dan pemangku kepentingan dalam pesta demokrasi maupun tatanan birokrasi negara pun harus berimbang dalam menanggapi era komunikasi digital ini bukan menjadi pengambil keuntungan dalam ketidapahaman rakyat demi keuntungan dan kekuasaan yang ingin dicapai dalam pesta demokrasi.
Rakyat harus mampu menjadi penilai ditengah pesta demokrasi dan politik praktis yang etis, bukan menjadi "bulan-bulanan" dalam ketidakpahaman akan politik negara. Hal ini harus dijadikan wadah edukasi politik bagi rakyat agar masyarakat menjadi "melek" politik sehat bukan menjadi terang dalam nilai-nilai kotor dunia politik praktis.
Demokrasi akan fungsional bila pemahaman rakyat akan sistem demokrasi itu juga bertumbuh. Bila hal ini tidak ditumbuhkan bahkan terkesan dipelihara, yang namanya demokrasi hanyalah redaksi-redaksi wacana politik alih-alih sikap nyata dalam politik bernegara.
Politik praktis sebagai buah dari demokrasi pun haruslah nilai-nilai politik yang sehat serta etis. Cara-cara lama dan tidak sehat haruslah ditinggalkan agar nilai edukasi politik dalam masyarakat juga bertumbuh hingga roda demokrasi perlahan-lahan dapat berjalan dengan pasti. ***
Komentar
Posting Komentar