Dengan Ini, Saya Mengenang Wanita Pribumi Revolusioner

"Wanita adalah manusia kelas dua".

Setidaknya itu adalah pandangan umum dalam budaya patriarkis yang secara umum dianut oleh berbagai lingkungan sosial di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Kaum pria memonopoli hampir segala kepentingan baik pendidikan, politik, kekuasaan, ekonomi bahkan hal yang spritual/keagamaan. Setidaknya hingga abad ke 20 budaya patriarkis adalah kesadaran yang tercipta ditengah sosial masyarakat bernegara. Lantas bagaimana bila kemampanan tersebut dipertanyakan dan digebrak oleh kaum wanita sebagai "manusia kelas dua" tersebut?

Dalam banyak sejarah peradaban manusia, perempuan memang banyak dianggap hanya sebagai pelengkap dan pendukung dalam kepentingan-kepentingan yang dibentuk oleh kaum pria. Atau lebih sederhana, kaum wanita hanya dijadikan alat estetika dalam sosial. Dalam kasus budaya Jawa, tradisi patriarkis menempatkan fungsi kaum perempuan hanya pada bagian-bagian yang "remeh-temeh". Hanya menjadi pendamping pria dan pengurus kebutuhan rumah tangga pria tanpa ada kekuatan politis yang dapat dicapainya. Bahkan kecenderungan hak pilih seorang wanita adalah kuasa kaum pria.

Lalu, tersebutlah seorang wanita yang hidup diakhir abad ke 18 hingga awal abad ke 19 di Hindia Belanda yang kehidupannya terimbas pada budaya patriarkis tersebut di pulau Jawa. Wanita ini adalah seorang keturunan keluarga bangsawan Jawa atau biasa disebut dengan kalangan "priyayi". Dengan status yang dimilikinya beliau "beruntung" bisa mendapatkan hak intelektual (pendidikan) untuk belajar di sekolah kolonial hingga usianya 12 tahun. Beliau harus berhenti sekolah disebabkan pada usia tersebut beliau harus tinggal dirumah karena adanya kewajiban adat "pingit" yang harus diterimanya. Beliau telah dipilihkan haknya untuk menikah dengan seorang Bupati yang telah memiliki 3 istri. Walaupun harus berhenti sekolah tak membuat surut niat beliau untuk tetap mendapatkan hak belajarnya.

Karena hidup dilingkungan bangsawan membuat beliau mahir berbahasa belanda, maka dengan itu beliau mulai belajar di rumah dan menulis surat dengan teman-teman korespondensinya yang berada di Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Beliau tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Beliau juga banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, dan beliau juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan serta majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Beliau pun beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari isi surat-suratnya, beliau membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Terkadang beliau menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Beliau melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca beliau sebelum ia berumur 20 tahun, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, juga ada De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden, Augusta de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, yang berjudul Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Bahkan dari semua buku tersebut adalah buku berbahasa Belanda.

Melalui semua bahan kesadaran intelektual yang "dilahap" beliau secara pribadi tersebut, menciptakan kesadaran baru dalam paradigma sosial yang diyakini lingkungan sosial di masa itu untuk membawa posisi baru mahluk bernama "wanita" untuk duduk setara dengan kaum pria. Keingingan kuatnya untuk berbagi kesadarannya dengan kaum-kaum perempuan lainnya yang notabene nasibnya secara teknis hampir sama dicurahkannya dengan mendirikan sekolah wanita yang bernama "sekolah kartini". Beliau percaya dengan melalui sekolah, pendidikan kesadaran akan semua hal yang dipelajari dan diyakininya sebagaimana adalah juga "hak wanita" merupakan hak asasi setiap manusia bahkan seorang wanita sekalipun.

Walaupun beliau harus tetap menjalani adat-istiadat yang dibebankan padanya seperti pernikahan yang diembankan padanya bahkan juga upaya intelektualitas yang dibatasi pada beliau tak membuat beliau lantas berhenti untuk tetap berpikir dan merevolusi kesadaran pikir yang saat itu sebagai upaya "pengambilan" haknya sebagai manusia yang setara dihadapan manusia lain.

Setelah beliau wafat, ia banyak meninggalkan surat-surat yang terdahulu dikerjakannya sebagai upaya berbagi pengetahuan dengan teman-teman Eropanya. Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan beliau pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang secara harafiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat beliau ini diterbitkan pada 1911.

Melalui buku yang berisi pemikiran-pemikiran beliau tersebut banyak menarik perhatian dan menggugah kesadaran masyarakat Belanda mengenai pandangannya terhadap wanita pribumi. Bahkan pemikiran-pemikiran beliau banyak menjadi inspirasi tokoh Kebangkitan Nasional seperti W. R Supratman yang menciptakan lagu yang berjudul "Ibu Kita Kartini" yang populer dikalangan siswa di sekolah diseluruh nusantara yang menggambarkan inti perjuangan wanita untuk mendapatkan kemerdekaannya.

Hari ini, melalui pemikiran dan kesadaran yang diperjuangkan beliau kita telah dapat melihat dan merasakan bagaimana upaya revolusi budaya pikir yang digebrak beliau agar wanita bisa mendapatkan hak-haknya secara asasi dan menikmati hidup dan pilihannya sendiri. Bagaimana sektor-sektor dan elemen kepentingan negara bukan lagi usaha monopoli kaum pria tapi juga bagian dari hak seorang wanita secara intelektual. Revolusi intelektualitas yang diupayakan beliau menjadi sebuah titik cerah langkah seorang wanita untuk dapat membuat dan menempatkan pilihannya sesuai keinginannya tanpa adanya upaya-upaya yang menggerus hak tersebut seperti judul buku yang berisi surat-surat pemikiran beliau "habis gelap terbitlah terang".

Dengan ini, kita mengenang wanita revolusioner pejuang emanispasi wanita pribumi, Raden Adjeng Kartini. ***

(Jepara, Hindia Belanda,21 April 1879 – 17 September 1904, Rembang, Hindia Belanda)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel