GOLPUT Sebagai Hak
Tahun 2018 dan 2019 dapatlah dikatakan tahun kontestasi politik besar yang dilaksanakan negara Indonesia. Ditahun itu untuk pertama kalinya Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) baik untuk daerah tingkat I (Gubernur, Walikota) dan tingkat II (Bupati) dilaksanakan secara serentak dihampir 80% wilayah Indonesia dan tahun berikutnya (2019) Pemilihan Umum (Pemilu red.) Presiden untuk periode 2019-2024.
Dari fakta diatas, wajar bila iklim politik di Indonesia mengalami pemanasan secara nasional. Setiap kelompok hingga partai sebagai alat validasi dalam kontestasi Pemilu melakukan mobilisasi politik untuk meraih simpati rakyat terhadap calon yang dijagokan dalam kontes politik tersebut. Setiap partai di hampir semua daerah baik propinsi maupun kabupaten yang mengusung calon pemimpin daerahnya berlomba-lomba agar setiap suara pemilih dapat digunakan dan dalam konteks pemenangan, suara rakyat tersebut adalah kunci legalitas kemenangan absolut.
Masyarakatpun seperti terbius dalam sirkulasi pesta politik yang terjadi. Setiap orang mencoba mengkampanyekan jagoannya yang sangat nyata dapat dilihat dalam arus publikasi digital (media sosial red.). Setiap orang mencoba memberi perspektif akan jagoannya baik secara emosional maupun komprehensif dengan tujuan setiap orang mampu memahami opini keberpihakan akan jagoan tersebut. Dan menjelang pesta demokrasi tersebut orang-orang beramai-ramai mengkampanyekan untuk tidak GOLPUT (Golongan Putih) dan menggunakan hak pilih untuk keberhasilan demokrasi negara.
Golongan Putih
Golongan putih atau yang disingkat golput adalah istilah politik di Indonesia yang berawal dari gerakan protes dari para mahasiswa dan pemuda untuk memprotes pelaksanaan Pemilu 1971 yang merupakan Pemilu pertama di era Orde Baru. Pesertanya 10 partai politik , jauh lebih sedikit daripada Pemilu 1955 yang diikuti 172 partai politik. Tokoh yang terkenal memimpin gerakan ini adalah Arief Budiman . Namun, pencetus istilah “Golput” ini sendiri adalah Imam Waluyo . Dipakai istilah “putih” karena gerakan ini menganjurkan agar mencoblos bagian putih di kertas atau surat suara di luar gambar parpol peserta Pemilu bagi yang datang ke bilik suara. Namun, kala itu, jarang ada yang berani tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena akan ditandai. Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya , partai politik dominan pada masa Orde Baru. (wikipedia.org)
Berdasarkan sejarah ringkas lahirnya golput di perpolitikan Indonesia pada era Orde Baru (orba) dibawah rezim Soeharto diatas dapat dinyatakan bahwa golput adalah bentuk perlawanan dalam ketidakadilan dalam demokrasi. Rezim yang berlindung atas nama demokrasi mencoba memamfaatkan sifat mayoritas dalam demokrasi (utilitas red.) untuk memperpanjang masa kekuasaan meskipun kontes politik (pemilu red.) tetap terjadi.
Golput pada itu mencoba melawan persekongkolan penguasa dalam kontes politik memanfaatkan hak kedaulatan yang ada dala setiap pribadi masyarakat untuk tidak memilih dalam pemilu atau setidaknya memilih dengan tidak prosedural (mencoblos secara tidak sah) sebagai upaya konfrontasi atas upaya rezim penguasa untuk kembali berkuasa walau gerakan ini tak berhasil secara konstitusi (menumbangkan rezim) namun setidaknya golput menjadi propaganda dalam perbaikan kualitas demokrasi.
Hak Kedaulatan
Memilih atau tidak dalam pemilu adalah hak yang berdaulat dalam setiap diri warga negara. Menjadi pemilih dalam sistem demokrasi adalah sebuah hak bagi warga negara. Dengan demikian memilih atau tidak adalah sebuah upaya perbaikan kualitas demokrasi.
Dalam perspektif pemilu yang diselenggarakan negara, kuantitas peserta pemilih adalah acuan keberhasilan. Hal ini dapat dimaklumi sebab statistik arus pemilih adalah acuan negara untuk menyatakan demokrasi berjalan dengan positif. Namun, kuantitas non-pemilih (golput) juga adalah penentuan kualitas demokrasi. Hal ini tak dapat diselesaikan hanya dengan kampanye yang menyatakan bahwa warga negara yang baik tidak golput, justru golput adalah indikator kualitas demokrasi negara, dengan demikian hal tersebut menjadi penting dan perlu. ***
Pada dasarnya golongan putih hadir sebagai wujud ketidakpuasan warga negara akan sistem demokrasi yang dijalankan pemerintah. Banyaknya ketidakadilan dan sistem yang tidak berpihak pada masyarakat yang pada dasarnya memunculkan sikap tersebut alih-alih dalam konteks kehadiran golput pun demikian adanya.
Dewasa ini, golput dapat juga dipandang sebagai upaya ketidakpuasan pada sistem regenerasi pemimpin (pemilu red.). Banyaknya kecurangan dalam pemilu berakibat sikap yang apatis pada masyarakat. Justru sejauh ini hal tersebut tidak banyak berubah. Politik uang, politik tirani (penguasa berkerabat), politik SARA, dsb masih saja menjadi andalan para politisi untuk memenangkan pemilu. Hal ini yanh berakibat pada tingginya golput dalam masyarakat.
Pemerintah sebagai penyelenggara tak dapat mengkambinghitamkan sikap masyarakat tersebut sebagai alasan yang buruk justru seharusnya menjadi pemicu perbaikan kualitas demokrasi di kemudian hari. Begitu pula dengan pihak-pihak yang mengaku demokrasi sebagai acuan keberhasilan negara, tak hanya dengan kampanye "tidak golput" sebagai upaya mendidik sikap politik masyarakat, namun harus memperbaiki cara dan upaya kontestasi politiknya agar sikap golput dapat dimininalisir.
Golput adalah bagian dari kedaulatan yang dimiliki pribadi setiap orang sebagai haknya menjadi warga negara, hal ini tidak dapat ditentang atau dipaksakan pada setiap orang sebab golput hadir sebagai bentuk perlawanan akan ketidakadilan alih-alih dikatakan tak merubah apapun. Justru golput hadir sebagai wujud supremasi akan kemapanan politik praktis dan pragmatis yang memabukkan masyarakat. Dengan ini kita belajar politik akal sehat. ***
Komentar
Posting Komentar