Memaknai "Ketidakbermaknaan" Albert Camus
Apakah tujuan hidup kita ini? Apakah hidup kita ini memiliki makna? Apakah ada arti dari sebuah kehidupan kita yang kecil di alam semesta?
Mungkin hal ini yang menjadi diskursus pemikiran Albert Camus akan segala yang dihadapinya semasa hidup. Camus mencoba mencari arti dan makna kehidupan dari semua pemikiran kritis yang dihasilkan oleh filsuf-filsuf era sebelum kehidupannya, apakah ada titik sebuah makna yang absolut yang dapat diraihnya. Ternyata dari semua hasil pemikiran yang didapatkan oleh Camus justru membawanya pada sebuah makna yang tidak jelas serta tidak berarti yang membuatnya sampai pada titik absurditas (ketidakbermaknaan) kehidupan.
Absurditas menjadi topik yang menarik dibahas di era filsafat abad ke 20. Topik-topik filsafat klasik yang sebelumnya menghiasi wacana-wacana pemikiran masyarakat intelektual mulai mendapat titik kejenuhan dalam mencari makna ideal dalam kehidupan. Camus menawarkan sebuah wacana yang cukup eksentrik namun memiliki nilai refleksi pemikiran yang cukup dalam untuk mengkaji dan memaknai kembali sebuah fenomena dalam kehidupan.
Teori absurditas yang dibuat oleh Camus bukanlah tanpa wacana dan perspektif yang realitas. Dia mencoba membawa dasar pemikiran kita akan produk pengetahuan yang diciptakan manusia pada titik pengkajian ulang sebuah nilai yang ditawarkan oleh produk tersebut. Bagaimana kita membuat nilai emosional kita sendiri yang tidak alami di dalam sistem peradaban yang kita ciptakan. Teori absurditas Camus tidak lepas dari realitas pemikiran peradaban yang dipengaruhi oleh nilai-nilai filsafat klasik yang banyak menjadi nilai fundamental dalam membuat sebuah produk sistem peradaban. Absurditas mencoba menegasi pemikiran-pemikiran fundamental untuk membawa kita pada sebuah dasar pemikiran yang baru dan tidak terkungkung pada pemikiran-pemikiran yang telah mapan.
Absurditas tidaklah dapat diartikan secara harafiah namun secara eksplisit tersirat makna sebenarnya dari kata tersebut. Absurditas mencoba berdiri mandiri sebagai sebuah pondasi tanpa ditopang oleh nilai-nilai pemikiran yang telah mapan. Sampai pada titik tersebut absurditas menjadi otentik dan cukup eksentrik namun sangat menarik.
Pada titik pemikiran filsafat klasik yang berkecenderungan membuat nilai fundamental yang ideal dalam peradaban, Camus justru ingin keluar dari kotak pemikiran tersebut. Absurditas dipaksa keluar dengan mengoyak etika-etika pemikiran filsafat lama dengan resiko nilai tersebut menjadi sangat kontras dan sulit diterima, namun Camus sepertinya justru mencoba mengenalkan jati diri sebuah absurditas dari prinsip-prinsip teori tersebut.
Diskursus absurditas Camus banyak dituangkan dan dinarasikannya justru melalui sebuah bentuk novel khas abad 20, tidak seperti diskursus filsafat era sebelumnya yang menuangkan pemikirannya dalam bentuk buku teoretis serta dalam ranah dialektika. Melalui bentuk diskurus ini Camus mencoba memberontak dari budaya-budaya kajian filsafat era klasik. Novel-novel yang ditulisnya seperti Sampar, Orang Asing, Pemberontak, dsb sangat nyata coba menggambarkan bagaimana sebenarnya absurditas yang dimaksudkan oleh Camus.
Wacana absurditas yang ditawarkan oleh Camus sangat sarat pada manusia-manusia yang ingin melihat dunia dari perspektif yang berbeda untuk menghasilkan sebuah nilai dari konteks peradaban dan realitas yang terjadi di dalamnya. Secara eksplisit jiwa Camus ini coba meresapi jiwa-jiwa muda yang ingin melihat perubahan dari sebuah nilai kemapanan yang cenderung membosankan. Dengan perspektif Camus kita diajak mencoba menjadi jiwa yang segar dan selalu bersemangat dalam menjalani kehidupan.
HEGEMONI PERADABAN DALAM ABSURDITAS
Setelah sampai pada titik dasar pemikiran tersebut, absurditas layaklah kita uji pada titik hegemoni peradaban. Mungkin semua kita pernah setidaknya melihat atau merasakan sendiri bagaimana sebuah kausalitas peristiwa berjalan dan implikasi yang dihasilkannya. Seperti perasaan senang karena mendapatkan uang, bersedih karena kehilangan sesuatu, bahagia karena bertemu kekasih atau bosan karena sebuah siklus yang monoton. Tanpa sadar kausalitas tersebut jauh-jauh hari telah kita ciptakan dalam peradaban kita. Hal sederhana tersebut dapat kita konstruksi pada titik yang lebih luas hingga sampai pada konteks kebebasan hakiki serta konsep keadilan dan yang mengikuti hal tersebut.
Dari semua narasi diatas adalah hasil produk peradaban yang kita bangun selama sejarah peradaban muncul. Konteks itu menjadi pertanyaan saat pemikiran ideal yang diciptakan justru seakan-akan menegasi maknanya terhadapa kenyataan pragmatis. Dunia semakin hancur, kehidupan semakin timpang, keadilan tidak berjalan, perbudakan, nalar semakin jauh, menjadi topik sehari-hari peradaban kita.
Pada titik kebingungan tersebut absursitas mencoba mengisi kejenuhan pemikiran dan realitas tersebut. Tanpa kita sadari, suka atau tidak hasil peradaban tersebut adalah buah budaya kemapanan pemikiran kita. Untuk hal ini absurditas memberontak untuk tetap terlibat dalam lingkaran pemikiran tersebut.
Absurditas tidaklah dimaknai dalam kekelaman dan penyesalan dalam pemikiran namun sebuah spirit dalam usaha mencari resolusi dan makna dalam sebuah konteks. Dengan ini kita selalu dalam semangat pemikiran untuk mencari dan tidak berhenti pada realitas yang ada. Dengan tidak menetapkan nilai pada sebuah fenomena kita dapat selalu mencari solusi maupun resolusi dari sebuah peradaban maupun masalah yang mengikutinya.
Bila kita menempatkan sudut absurditas dalam konteks pemikiran niscaya elemen-elemen pemikiran baru akan mengikuti yang nilainya dikemudian hari mungkin dapat berjalan dan menjadi sebuah kesadaran dalam peradaban. Dalam lingkup kecil pun absurditas dapat dikaji seperti pada kejenuhan dalam sistem belajar maupun sistem budaya yang mengikat.
Absurditas mencoba tidak menjustifikasi nilai dari sebuah realitas maupun nilai pemikiran. Dengan ini kita berdiri menjadi manusia baru yang tidak pongah dan cenderung selalu belajar dan memberi solusi dalam peradaban kecil yang kita jalani. Dengan proses ini, kita mencoba menihilkan arti dan makna sebuah proses maupun kehidupan. Dengan demikian kita mampu untuk berdiri mandiri sebagai manusia yang berpikir dan selalu berubah sesuai dengan kodrat yang kita miliki.***
#opini mengenang Albert Camus dalam mengisi dunia literasi pemikiran.
Komentar
Posting Komentar