Memilih Tani Menolak Hegemoni
Sehabis mengeyam pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA red.), seperti kebanyakan anak SMA pada umumnya yang dicekcoki dengan pra-syarat kesuksesan yang normatif yaitu melanjutkan pendidikan kuliah, saya pun juga merasa harus melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas. Dan seperti kebanyakan remaja yang baru menyelesaikan pendidikan SMA dan minim informasi baik secara historis maupun administratif tentang dunia perkuliahan akhirnya menyatakan satu tujuan yaitu harus mampu kuliah di perguruan tinggi terkemuka dengan informasi minim tentang spesifikasi ilmu dan keahlian yang diinginkan dan mengandalkan intuisi bahwa kuliah adalah proses formal menuju kesuksesan. Alhasil saya kuliah di jurusan yang bahkan saya tak pahami secara mendasar mengenai keilmuan tersebut.
Tahun 2010 saya diterima kuliah di Perguruan Tinggi Negeri (USU red.) melalui proses seleksi umum di jurusan Agroekoteknologi yang saya pilih saat proses pengisian administrasi seleksi hanya dengan pertimbangan bahwa jurusan tersebut memiliki kuota tampung yang cukup tinggi sehingga secara intuisi saya lebih memiliki peluang lebih besar untuk masuk jurusan tersebut dibanding jurusan yang digadang-gadang dan menjadi budaya pikir dalam lingkaran remaja yang ingin masuk dunia perkuliahan seperti teknik dan kedokteran maupun hukum.
Setelah menyelesaikan proses administrasi dan proses pra-pendidikan perkuliahan akhirnya saya memahami bahwa jurusan Agroekoteknologi yang saya pilih tersebut merupakan salah satu sub-ilmu dalam keilmuan pertanian. Sederhananya saya adalah mahasiswa pertanian. Dengan hal demikian diatas saya menjalani hari-hari perkuliahan sebagai seorang mahasiswa pertanian.
MAHASISWA
Menjadi mahasiswa seperti memiliki beban moral dan tanggungjawab yang cukup abstrak. Mengapa demikian? Sebab saat saya menjadi mahasiswa banyak opini dan argumentasi yang menyatakan bahwa mahasiswa adalah kaum intelektual serta agen perubahan dalam masyarakat. Hingga hari ini saya sedikit kebingungan dengan hegemoni tersebut walaupun secara esensial hal tersebut dapat dipahami.
Hal tersebut semakin terasa bila ada masanya, tugas-tugas perkuliahan ataupun kurikulum belajar mengharuskan mahasiswa turun ke tengah masyarakat. Secara umum masyarakat yang menyerap informasi bahwa mahasiswa adalah orang-orang pintar secara akademis dan lebih paham secata metodologi dibanding mereka secara tidak langsung banyak mencoba mencari alternatif solusi masalah bila bertemu dengan sosok mahasiswa yang pada dasarnya belum tentu dipahami oleh mahasiswa atau bahkan substansi masalah tersebut tidak pernah disentuh mahasiswa dalam kurikulum belajarnya dikampus. Alhasil saya sering menjadi terbebani dan sedikit enggan bila bertemu konteks solutif masalah dalam masyarakat namun menjadi kewajiban disebabkan kewajiban kurikulum semisal study tour maupun Praktik Kerja Lapangan (PKL red.).
Dalam lingkungan sosial mahasiswa di kampus pun terjadi dan tercipta lingkaran hegemoni historis tentang bagaimana seharusnya mahasiswa tersebut berpikir dan bertindak, walaupun tidak pada secara keseluruhan namun buah-buah pikir revolusioner terjalin di lingkungan kampus dalam segmen apa pun. Hal ini menjadi semakin ambigu disaat ada pihak yang menyatakan bahwa mahasiswa harus belajar dengan metoda keilmuan yang digelutinya dengan baik dan disisi lain mahasiswa harus selalu kritis dan politis sebagai esensi seorang mahasiswa. Terjadi kerancuan akan pemahaman belajar dan kritis yang diciptakan. Semua berakar pada hegemoni sosial mahasiswa masa lampau.
Ada trend pembahasan di lingkungan mahasiswa yang saya geluti mengenai topik sebuah pekerjaan di masa depan. Banyak sisi ideal yang diciptakan mahasiswa dimasa pendidikannya bahwa mahasiswa harus menolak kapitalisasi industri mapan dalam arti sederhana kapitalisme haruslah dihindari dengan cara menolak terlibat didalamnya. Yang menjadi membingungkan adalah kapitalisme digeneralisasi bahkan didegradasi maknanya menjadi sempit dan memburuk sebagai akibat kurangnya diskursus akan hal tersebut sehingga secara metoda tidak dimaknai dengan benar. Alhasil kapitalisme hanya ditolak sebagia trend pemikiran saja bukan sebuah kesadaran sebab realitasnya sehabis melalui pasca pendidikan sarjana kenyataan akan kebutuhan menghantam pribadi dan sosial mahasiswa. Hasil akhirnya adalah masuk dunia industri apapun agar tetap eksis dalam memenuhi kebutuhan. Bahkan pemikiran-pemikiran mahasiswa yang ideal tersebut dinafikan pernah menjadi komitmen bahkan membenarkan kenyataan hidup sebagai kesadaran. Apakah ini tidak membingungkan?
PASCA MAHASISWA DAN HEGEMONI
Tahun 2017 atau setelah 7 tahun menjalani pendidikan perkuliahan yang dapat saya katakan mengambang dan tak memiliki makna tujuan yang spesifik, saya dibenturkan pada kenyataan yang saya sebutkan sebelumnya bahwa saya harus tetap eksis dalam kehidupan saya. Dengan kata lain saya harus bekerja untuk menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan saya sebab uang sebagai legalisasi transaksi pasar. Kesimpangsiuran yang terjadi dalam pemahaman baik internal maupun eksternal lingkungan mahasiswa menghasilkan sebuah hegemoni bahwa mahasiswa harus bekerja dalam industri sebab dominansi industri menciptakan realitas kesadaran sosial yang dianggap baik dan benar, sehingga setiap sarjana habis-habisan berupaya masuk dalam industri bukan sebab titik kritis kebutuhan hidupnya melainkan tekanan sosial yang menghasilkan sebuah wajah keharusan pada diri seorang sarjana. Itu sebabnya tidak heran bila melihat antrian dan kompetisi antar sarjana dalam berebut kuota lowongan dalam sebuah perusahaan. Sarjana sendiri secara tidak langsung menguatkan dominansi kapitalisme industri melalui tindakannya hanya karena intervensi sosialnya.
Pendidikan universitas secara tanpa sadar juga menciptakan kesadaran mahasiswanya untuk berada di jalur pekerja industri bila telah selesai pendidikan. Dengan demikian bukan sebuah peristiwa aneh mahasiswa menjadi sangat antusias menjadi seorang pekerja ditambah kesadaran sosial masyarakat tentang industri dan pekerjaan.
Saya mengalami kebingungan atas semua hal tersebut sebab yang sederhana saya ketahui dan coba sadari, bahwa saya belajar ilmu pertanian dengan alasan bahwa progres keilmi pertanian akan menjadi modal saya dalam memenuhi aktivitas masyarakat tani yang akan saya geluti. Sangat sederhana, sesederhana saya mengolah tanah dengan cangkul bukan dengan mengisi buku administrasi sebuah perusahaan dan dibayar akan itu.
Diatas segala itu, semua hal diatas adalah paradoks-paradoks yang mungkin sedikit benar dan memiliki banyak kekurangan pikiran yang saya alami dan coba selami. Saya mencoba melawan hegemoni sosial sebab yak ada alasan memperjuangkan itu. Menjadi petani tak semudah yang dipikirkan dan bukan pula aktivitas tanpa nilai politis. Menjadi petani menjadikan saya memahami bahwa saya adalah seorang sarjana pertanian.
Dalam salah satu buku karangan Paulo Coelho, ada kalimat yang menyatakan demikian, "bila ingin mencapai titik level kesuksesan, maka engaku harus sarjana. Begitulah ceritanya dunia kehilangan pedagang, petani, penjual barang antik dan seniman.". Dengan demikian saya memilih menjadi petani dan menolak hegemoni.***
Komentar
Posting Komentar