Pembunuh Hutan Bernama Tisu

manafoods.blogspot.com

Masyarakat pada umumnya mungkin tak ada yang tak mengenal tisu. Dengan serba kegunaannya yang praktis dengan harga yang terjangkau pula membuat tisu mudah ditemukan dimanapun. Baik itu di warung makan, pusat perbelanjaan, coffee shop, bahkan toilet umum dalam pusat perbelanjaan dapat ditemukan tisu. Beberapa orang juga menyimpan tisu secara pribadi bila sedang dalam aktivitasnya. Kepraktisan penggunaan tisu bagi setiap orang membuat tisu menjadi primadona perihal alat membersihkan dari berbagai kotoran ringan. Di belahan Eropa dan Amerika Utara bahkan membudayakan tisu sebagai alat pembersih saat di kakus. Tingginya akan pemakaian dan kebutuhan akan tisu membuat industri pembuat tisu tumbuh dengan subur dan menyerap banyak tenaga kerja, namun mirisnya sebagian besar konsumen tisu tak menyadari bahwa sehelai tisu membunuh sebatang pohon di tengah belantara hutan yang menopang banyak kehidupan lain termasuk peradaban manusia.

Agar menjadi sebuah tisu, sebatang pohon haruslah ditebang dan dihancurkan dengan mesin raksasa agar terbentuk bubur yang biasa disebut dengan pulp (bubur kertas). Tisu mulai ditemukan dan diproduksi secara massal sekitar tahun 1880-an dari bahan baku kulit kayu yang dijadikan pulp (bubur kertas). Setelah itu pulp tersebut mengalami penggilingan kemudian masuk ke yankee dryer (mesiun uap pengering), setelah kering menjadi lembar-lembar kering yang tipis kemudian ditambahkan bahan kimia klor sebagai bahan bleaching/pemutih. Perkiraan sederhana dalam 1 pack terdapat 20 lembar tisu, dan 1 pohon berumur 6 tahun hanya bisa menghasilkan 2 pack tisu saja, atau 40 lembar. Sementara itu, satu pohon bisa menghasilkan oksigen untuk menghidupi 3 orang. Sampai saat ini, Indonesia telah kehilangan sekitar 72% hutan aslinya, dan semakin hari kerusakan hutan tetap berlanjut dan cenderung meningkat sejalan dengan permintaan pasar akan tisu.

Dari data sederhana tersebut dapat kita bayangkan bagaimana kita bersama-sama dalam merusak dan menghancurkan kehidupan kita sendiri terlebih kehidupan mahluk lainnya seperti hewan dan tumbuhan itu sendiri. Padahal dalam sirkulasi organik yang panjang, hutan adalah topangan utama dalam kemampuan kita bertahan hidup di bumi. Dampak langsung yang urung dihadapi setiap orang membuat reka pikir sejauh itu tak muncul dalam antisipasi jangka panjang bahaya yang pasti akan menghampiri peradaban manusia bila mekanisme kehidupan dengan tisu tetap dilakukan. 

Industri dan teknologi memang membawa jauh kehidupan mnausia dari sisi kepraktisan. Berbagai hal dengan mudah diperoleh setiap orang dengan memiliki alat tukar (uang red.). Pendidikan pun urung memberikan edukasi tentang bagaimana menjaga kelangsungan peradaban dengan tidak membiasakan penggunaan tisu, mirisnya instansi pendidikan justru ikut terlibat dalam konsumsi tisu yang cukup tinggi. Modernitas kaum urban (kota) menganggap tisu hanyalah selembar kertas putih tipis yang tak memberi dampak besar pada lingkungan, padahal hulu dari tisu itu sendiri realitasnya sangatlah besar dan mengerikan. Hutan-hutan alami habis dibabat untuk diambil kayunya dan hutan gundul tersebut kemudian dikonversi menjadi hutan-hutan industri dengan tanaman yang homogen (Pada bahan pulp, tanaman yang diusahakan adalah eukaliptus sp. yang tinggi penyerapan air tanahnya). Hutan yang homogen perlahan akan membunuh kesejatian keberagaman kehidupan hutan dan keberagaman tersebut juga berguna untuk saling mengisi kehidupan-kehidupan didalamnya. Itu yang terjadi pada banyak hutan di Indonesia. 

Tanpa sadar berubahnya hutan yang heterogen menjadi hutan yang homogen berimbas pada sektor pertanian yang bernaung dibawahnya. Kebutuhan akan air yang diproduksi hutan secara alami perlahan hilang, unsur hara dan mineral tanah yang juga dibutuhkan oleh tanaman agar dapat bertumbuh perlahan sulit diraih akar, semua itu akan berimbas pada produktivitas komoditas secara ekonomi. Masyarakat desa perlahan mengalami penurunan kemampuan finansial jangka panjang, dan kota sulit menerima kenyataan tersebut sebagai akibat kebutuhan kota yang begitu tinggi (tisu red.).

Kita secara menyeluruh juga menghadapi imbas yang sangat vital yaitu kualitas udara yang kita hirup. Hutan alami yang notabene adalah hutan yang heterogen adalah mesin produksi paling efisien untuk menghasilkan oksigen yang paling dibutuhkan metabolisme tubuh mahluk hidup (manusia red.). Dengan bergantinya fungsi hutan menjadi huta indistri yang homogen perlahan daya hutan tersebut untuk memproduksi oksigen akan berkurang baik kuantitas maupun kualitas, secara pasti kita juga terimbas pada kualitas kehidupan yang akan berujung pada munculnya penyakit-penyakit yang mungkin dapat menghilangkan nyawa secara ekstrim.

Tisu memanglah sebuah terobosan alat pembersih praktis dari kotoran namun tisu bukan berarti tak memiliki dampak nyata pada perubahan lingkungan. Penggunaannya yang berlebihan akan semakin memperkuat industri penghasilnya untuk menyiapkan lahan kebutuhan bahan dasarnya yang itu berarti berubahnya banyak hutan alami Indonesia. Tisu bukan berarti buruk untuk digunakan, namun sangat konsumtif pada tisu yang berakibat buruk pada peradaban kita. Mulailah menyadari segala konsekuensi tersebut dengan mencoba mencari alternatif yang disamping lebih murah seperti pemakaian sapu tangan pribadi yang dapat dipakai berkali-kali. Tidak selalu tergantung pada tisu akan membantu bumi untuk tetap hidup selayaknya kodrat alam ditentukan demikian, bila tidak kita hanya mempercepat kematian peradaban manusia.*** 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel