G 30 S, PKI, Peristiwa 1965, Komunisme Mengapa Harus Tabu?

Entah ada maksud apa atau mungkin memang gejala politik yang lumrah tiba-tiba ditengah-tengah masyarakat Indonesia muncul kembali sebuah luka lama yang nyaris dilupakan oleh generasi millenial yaitu peristiwa G 30 S (dalam catatan resmi pemerintah G 30 S/PKI), atau gamblangnya peristiwa pembunuhan 7 Jenderal TNI yang disinyalir sebagai upaya kudeta pemerintahan oleh partai PKI untuk menguasai dan merubah ideologi bangsa Indonesia dengan konsep tatanan ideologi Komunisme. Sampai hari ini persepsi tersebut adalah ingatan terkuat yang tertanam di tengah-tengah masyarakat Indonesia terkecuali generasi 90'an (millenial) yang memang di masanya tidak terlalu paham atau memang peristiwa sejarah itu sudah selayaknya usang di ruang waktu.


Sejak peristiwa yang terjadi di malam 30 September 1965 itu, banyak hal yang berubah dari Indonesia. Yang paling utama adalah tewasnya 7 Pimpinan Tinggi TNI. Kemudian tergulingnya tahta kepemimpinan negara Ir. Soekarno digantikan Jenderal TNI Soeharto melalui surat
SUPERSEMAR (Surat Perintah Sebelas Maret) yang diklaim sebagai surat permintaan Presiden Soekarno demi keamanan negara kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan negara. Namun, hingga hari ini kontroversi kebenaran sejarah mengenai keberadaan surat itu benar atau tidaknya juga masih menjadi polemik. Namun, disamping itu semua, semenjak peristiwa G 30 S tersebut, yang harus diingat adalah PKI menjadi momok yang menakutkan sekaligus hina ditengah bangsa Indonesia. Melalui perintah Jenderal Soeharto setiap orang yang memiliki hubungan atau afiliasi dengan PKI harus diperiksa, ditahan atau lebih ekstrimnya dihilangkan secara eksplisit.

Menurut catatan sejarah dari berbagai penelusuran oleh berbagai ahli sejarah diperkirakan selama periode orde baru/1965-1998 (orba) yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto diprediksi 500.000-1.000.000 nyawa hilang bahkan ada yang mengatakan hampir 2 juta jiwa yang hilang atau dalam hal ini tewas dalam bersih-bersih PKI yang dilakukan pemerintahan Jenderal Soeharto. Itu untuk kategori yang dianggap terlibat lansung dengan PKI. Lebih dari puluhan ribu tahanan politik yang dibuang ke berbagai camp konsentrasi yang ada di Indonesia. Contoh paling terkenal adalah Pulau Buru di kep. Ambon yang menjadi pulau tahanan bagi salah satu penulis besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer yang menulis 4 karya besarnya disana "Tetralogi Buru". Bahkan hingga hari ini masih banyak sisa dari tahanan politik tersebut yang tersebar sampai keluar negeri terkatung-katung tanpa kejelasan status kenegaraannya akibat peristiwa tersebut. Mirisnya untuk anak-anak maupun istri seorang yang disinyalir terlibat dengan PKI diperiksa dan ditahan berulang-ulang untuk mencari informasi mengenai PKI yang dikambinghitamkan tersebut. Semua tahanan politik yang telah dibebaskan pada KTP  akan diberi cap/label ET(Eks Tapol/Tahanan Politik) yang pada masa itu otomatis tidak berhak menjadi PNS maupun aparatur instansi negara lainnya dan bila sebelumnya telah bekerja menjadi PNS atau aparatur instansi lainnya akan dikeluarkan. Demikian fenomena yang berlangsung di masa pemerintahan Jenderal Soeharto. Suka atau tidak, sejarah berjalan demikian. 

Terlepas dari itu semua, banyaknya upaya indoktrinasi yang diselenggarakan pemerintahan Jenderal Soeharto disamping program-program penangkapan anggota PKI, pemberian cap PKI, bahkan sampai menghilangkan nyawa rakyat sendiri yang memilih jalur politik  berbeda, yang paling melekat adalah kewajiban setiap tahun bagi setiap masyarakat Indonesia yang dewasa hingga anak-anak sekolah untuk menonton film G 30 S / PKI yang dibuat tahun 1984, disponsori dan dibuat atas perintah langsung pemerintah. Harus diakui film ini sukses membentuk sikap mayoritas masyarakat Indonesia akan peristiwa G 30 S / PKI dan secara tidak langsung menjadikan peristiwa dalam film tersebut adalah sebenar-benarnya sejarah G 30 S / PKI. Apa yang terjadi? Masyarakat menjadi benci pada hal yang berbau PKI tanpa kecuali. Tabu mendengar kata Komunis dan sosialisme serta beranggapan PKI adalah musuh bangsa. Padahal PKI itu adalah bangsa Indonesia sendiri.

Hingga terakhir kemarin bagaimana masyarakat mengepung kantor YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Jakarta karena disinyalir mengadakan kegiatan berbau PKI yang setelah diklarifikasi adalah seminar tentang sejarah 1965. Dan paling baru adalah seruan Jenderal TNI untuk menonton kembali film sejarah G 30 S / PKI yang menurut banyak ahli sejarah tak sesuai dengan fakta berjalan peristiwa 30 September 1965. 

Apa yang salah dan tabu dalam mendalami sejarah peristiwa 1965? Apa maksud mengajak generasi millenial menonton film yang bahkan sudah banyak ditentang keras para ahli sejarah Mengapa tabu dengan kata PKI dan komunisme? Memang sepertinya yang mampu merubah sikap dan intelektualitas bangsa adalah pendidikan itu sendiri.***


Note: Saya muat sebelumnya di media sosial forum KasKus (dengan berbagai perubahan) dalam menyikapi riuhnya tanggapan masyarakat akan isu PKi hingga mendatangkan masalah berbau pidana yang dialami YLBHI. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel