Pernikahan dan Stereotip Masyarakat

- Kok belum menikah? Jangan lama-lama nanti keburu tua loh.

-Umur segitu kok belum menikah? Gak khawatir jadi lajang tua? 

- Kapan menikah? Umur segitu udah bisalah menikah

Mungkin masih banyak bentuk pertanyaan lainnya perihal menikah. Bagi kawula muda yang telah dianggap masuk dalam usia matang (biasanya telah memasuki tahap mapan), pertanyaan tersebut terkadang menjadi momok terlebih pada kondisi belum berpasangan serta-merta belum baik secara finansial. Bahkan pada situasi yang telah berpasangan pun tak sedikit polemik yang dihadapi bila dihadapkan pada pra-kondisi menikah. Mengapa demikian? 

Menikah adalah salah satu warisan budaya peradaban manusia yang sebenarnya memiliki makna luhur. Menikah adalah salah satu upaya menjaga peradaban (dalam hal ini melangsungkan regenerasi) serta menjaga kondisi hubungan dalam legitimasi yang jelas ditinjau dari peraturan masa kini yang dibentuk negara. Menikah juga salah satu warisan budaya pengetahuan manusia yang tujuan dan fungsinya jelas ditengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu menjaga makna menikah adalah sebuah kesadaran yang harus dibentuk. 


Menikah juga mengalami progresivitas dalam makna maupun teknis. Pola dan proses menikah selalu berubah seiring waktu dan perkembangan pengetahuan. Bila dahulu menikah dibeberapa kebudayaan masyarakat masih dipegang penuh oleh "legitimasi" orang tua sabagi pihak yang bertanggungjawab atas pilihan pasangan anak, kini pola tersebut mulai dianggap usang dan membebaskan anak tuk memilih dan menentukan pasangan menikahnya. Tapi hal tersebut tak sepenuhnya "bebas" sebab banyak elemen yang harus dipenuhi dalam pra-menikah seperti kecocokan dalam lingkup finansial, keterikatan keluarga, sosial-budaya bahkan keyakinan/agama turut mempengaruhi proses pemikiran seseorang dalam menikah.

Seperti pengutaraan diatas, stereotip masyarakat juga turut berperan aktif mempengaruhi sikap seseorang dalam memandang pernikahan. Banyaknya standar "baik" yang diciptakan masyarakat dalam memandang sebuah pernikahan mengakibatkan pandangan seseorang akan pernikahan menjadi meningkat yang terkadang menjurus pada beban sosial ketimbang kesadaran tuk memiliki pasangan dan berumahtangga. Itu sebabnya banyak pasangan yang menikah didasari oleh faktor usia atau kecocokan pada keluarga maupun keseimbangan dalam finansial serta kemampuan ekonomi keluarga walaupun konteks saling mencintai tetap jadi faktor utama namun tak sedikit faktor"saling mencintai" perlahan sirna oleh faktor-faktor kepentingan diatas. 

Polemik menikah juga tak sedikit yang berseliweran. Semisal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, perceraian, penelantaran anak, berpoligami dan poliandri kerap jadi santapan yang biasa dalam permasalahan rumah tangga. Padahal semua polemik diatas bukanlah sebuah kewajaran sebab polemik tersebut menjadi indikasi tidak sehatnya kerangka pikir dalam melangsungkan sebuah pernikahan.

Beberapa negara Eropa dan Amerika telah jauh memandang pernikahan sebagai hak dan bukan kewajiban bagi masyarakat sehingga tak heran bila kita sering mendengar masyarakat Eropa banyak yang "kumpul kebo" dan memiliki anak. Hal tersebut tidak menjadi gangguan sosial sebab telah meratanya pemahaman akan subjek pernikahan. Bagi kita masyarakat timur yang masih dominan dengan adat serta budaya yang mengikat perilaku sosial serta masih memegang teguh pernikahan sebagi jalan "sah" berumah tangga adalah sebuah kebaikan, namun semakin bergesernya pemahaman akan adat serta budaya terlebih pemahaman tentang pernikahan membuat makna menikah menjadi sedikit "ekstrim" dan terkesan memaksa pada generasi-generasi pra-menikah. Jadi, tak heran bila polemik masalah menikah kian hari menggunung.

Menikah adalah sebuah peristiwa yang luhur. Pada dasarnya menikah adalah sebuah hak yang dilandasi cinta oleh sepasang kekasih. Faktor-faktor pendukung latar belakang pasangan bukanlah penentu dalam masa menikah dan itu harus ditanamkan pada setiap generasi muda yang memasuki masa menikah. Bahkan bila seseorang memilih untuk tidak menikah hal tersebut adalah hak asasi yang harus dihargai dan tidak lantas meletakkan peran sosialnya pada titik yang buruk sebab perilaku dan moral lah yang menjadi acuan keberdayaan sosial. Stereotip yang tercipta ditengah masyarakat haruslah dimaknai dengan kepala dingin agar tidak menjadi tuntutan yang merusak pemikiran akan sebuah makna pernikahan. 


Menikahlah dengan kesadaran bukan dengan keadaan. Dengan itu kita merayakan warisan budaya peradaban.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel