"kalut malut"

Ya, opini dan paradigma kita dibuat kalut malut (baca: kacau). Bagaimana tidak, sebuah lembaga yang dibentuk pemerintah pusat bernama BODT (Badan Otoritas Danau Toba) yang mengklaim sebagai wujud dari terobosan mutakhir bagi pengembangan wilayah danau Toba terlebih pada ruang pariwisata yang memang dianggap sebagai potensi utama danau Toba, mulai memunculkan prasangka dan polemik mendasar yang bersentuhan dengan masyarakat lokal (masyarakat adat kab. Samosir). Hal ini semakin mencuat dengan munculnya lembaga hasil konsetrasi kinerja BODT bernama BOPDT (Badan Otoritas Pariwisata Danau Toba) yang memegang peran dalam menangani secara khusus sektor wisata danau Toba membuat jurang pemisah antara kepentingan "kaum bermodal" dan masyarakat yang hidup dari wilayah danau Toba. BOPDT yang berperan dalam membuat kebijakan-kebijakan politis dalam membuka ruang hadirnya sokongan pendukung wisata danau Toba termasuk menghadirkan para pemodal/investor agar mau menanamkan "uang" dilahan pariwisata danau Toba yang diklaim subur dan potensial. Dengan adanya kaum pemodal ini, wisata danau Toba akan terdukung secara finansial maupun infrastruktur serta teknologi yang otomatis akan membawa dampak positif bagi masyarakat setempat terutama bidang ekonomi. Begitulah kira-kira semangat "luhur" BOPDT. Namun, seperti kebanyakan kasus di Indonesia yang membawa-bawa nama instansi besar pemerintah serta investor di "ladang-ladang" penghasil uang negara, masyarakat lokal mulai merasakan dampak kehadiran instansi milik negara tersebut. Perlahan namun pasti instansi ini (BOPDT red.) mulai menghadirkan kebijakan-kebijakan yang cenderung tak adil pada masyarakat lokal terutama pada alih fungsi lahan yang menjadi pondasi utama untuk mendukung parawisata (infrastruktur wisata red.) seperti pada kasus baru-baru ini yang menimpa masyarakat adat marga Sirait yang wilayah lahan adatnya dipakai oleh BOPDT menjadi sebuah destinasi baru di kawasan danau Toba yang berkesan mewah dan eksklusif di Ajibata (salah satu wilayah wisata danau Toba dekat daerah wisata Parapat). Masyarakat adat Sirait yang secara psikologis dan hukum (Undang-undang) adalah pemilik bersama lahan adat tersebut tidak dilibatkan secara langsung baik dalam pemenuhan hak atas informasi ataupun "ganti rugi" sesuai ketentuan undang-undang negara*. Para aktivis dan pemerhati danau Toba mensinyalir polemik-polemik serupa akan bermunculan seiring waktu sebab sejak awal BODT/ BOPDT dianggap tak sejalan dengan tujuan awal kehadirannya. Sedang publik dihegemoni dengan "angin segar" perubahan maupun peningkatan sektor wisata danau Toba yang akan berstandar "internasional" yang ramah masyarakat lokal. Faktanya tak serupa dengan apa yang terjadi seiring waktu. Masyarakat lokal was-was sebab untuk informasi mereka pun minim apalagi memilih ambil tindakan dalam situasi progresivitas wisata danau Toba. Inilah kalut malut opini dan paradigma yang terjadi. Satu sisi publik menginginkan perubahan dan peningkatan wisata danau Toba, di sisi lain masyarakat lokal khawatir terpinggirkan dari modernisasi wisata danau Toba yang mengancam keberlangsungan sumber ekonomi yang selama ini mereka geluti. Dan fenomena ini bukan hal baru...




*Informasi mengenai polemik masyarakat adat marga Sirait di Ajibata dapat dilihat di media sosial yang membahas permasalahan tersebut dengan rujukan "Keturunan marga Sirait dari Bius Raja Paropat Sigapiton diusir dari perhelatan peresmian The Caldera Toba Nomadic Escape/kamis, 04 april 2019" karena dianggap bukan undangan. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel