Kita (di) Kutuk Untuk Bebas (Dalam narasi Novel Trilogi eksistensialisme Jean Paul Sartre)

.               Potret Sartre (1967)/en.m.wikipedia.org

*

Perspektif tentang kebebasan mungkin sudah sangat banyak ditulis oleh para ahli atau penulis/sastrawan. Narasi tentang kebebasan memang sangat menarik untuk dibahas terutama bila banyak realita dalam sejarah yang secara eksplisit menunjukkan bahwa keadaan manusia tak lagi menyentuh sifat-sifat alaminya (termasuk kebebasan hidup). Berbagai konflik, peristiwa, kultur budaya, sistem ideologi, dominansi politik dan banyak faktor lainnya mempengaruhi bahkan merubah manusia itu sendiri secara perlahan atau secara ekstrem dapat kita sebut terstruktur dan sistematis hingga naluri atau perspektif tentang kebebasan itu berubah secara perlahan pula. Kita gamang mengartikan kebebasan itu sendiri secara sederhana sebab banyak indikasi yang akan mempengaruhi kita memaknai kebebasan. Para hali pun membuat berbagai rumusan dalam narasinya tentang bagaimana substansi kebebasan itu sebenarnya. Sulit mengukurnya sebab kebebasan adala hal yang sangat bersifat argumentatif, namun kita dapat memperbandingkan makna kebebasan itu dalam aspeknya sebagai pemahaman dan wawasan. Salah satunya adalah narasi eksistensialisme Jean Paul Sartre.  

Jean Paul Sastre

Beliau dapatlah dikatakan sebagai salah satu filsuf abad ke-20 yang cukup populer. Namun secara eksplisit aktivitasnya adalah sebagai penulis dan pengajar (dosen) walaupun tak lama. Lahir di Paris, Prancis (1905) dan hingga wafat pada 1980 hampir semua aktivitas intelektualnya dihabiskan di Prancis. Berbagai tulisan teoritis, novel dan drama dihasilkannya selama masa karier pemikirannya. Hingga kini, dijurusan filsafat dan sastra diberbagai universitas di dunia menjadikan bahan pemikirannya sebagai kajian bidang keilmuan sosial terutama tentang filsafat eksistensialisme yang dikembangkannya. Walaupun kajian filsafat eksistensialisme bukan hasil ciptaannya, namun perspektif teoretisnya tentang eksistensialisme dianggap paling monumental terkhusus di abad ke-20 yang dianggap masa transisi tradisional menuju modernitas.

**

Bebas dalam novel Eksistensialisme Jean Paul Sastre

Secara menyeluruh, filsafat eksistensialisme yang dikembangkan oleh Jean Paul Sartre berbicara tentang topik kebebasan manusia secara utuh. Baik itu secara naluriah maupun secara sosial. Bahasan tentang kebebasan banyak diisyaratkannya dalam berbagai tulisan baik itu narasi, novel, maupun drama. Beliau juga salah satu filsuf yang mencoba menuangkan kajian teoretisnya ke dalam bentuk novel sehingga orang lebih dapat memahami bagaimana pemikirannya bekerja. Mungkin ini juga menjadi salah satu indikasi mengapa narasi eksistensialismenya lebih cepat menyebar ditengah masyarakat intelektual dibanding filsuf eksistensialisme terdahulu semisal Martin Heidegger. Trilogi novel monumentalnya menjadi salah satu novel yang dianggap sangat mewakili pemikiran eksistensialismenya. Dia dalam trilogi novelnya banyak memberikan narasi isyarat bagaimana kebebasan itu bekerja dan konsekuensinya terhadap diri dan sosial. Novel itu seperti merefleksikan perjalanan hidup dan pilihan-pilihannya pada berbagai keputusan. Mungkin karena berbentuk narasi tersebutlah kebebasan yang diutarakannya dapat tersampaikan secara gamblang. Ketiga novel tersebut dirangkum dalam kalimat bermakna kebebasan (road to freedom). Dimulai oleh novel The Age Of Reason", kemudian "The Reprieve, dan terakhir Troubled Sleep. Dengan membaca ketiga buku tersebut kita seperti diajak mendengar opini beliau tentang Kebebasan dalam konteks eksistensialisme. 

Ada sebuah kalimat yang mencolok yang diutarakan dalam novel tersebut dan menjadi kutipan yang penting bernada satire yaitu "manusia dikutuk untuk bebas". Entah apa maksud dan tujuan memakai kata banal "kutuk" dalam menyatakan kebebasan tersebut namun yang pasti kalimat tersebut seakan menyatakan makna yang kasar bahwa kebebasan yang seharusnya menjadi nilai dari manusia itu sendiri menjadi hilang oleh karena manusia itu sendiri. Manusia mencoba mencapai kebebasannya justru dengan cara mengusir jauh makna kebebasan itu sendiri. Oleh pelbagai hal dan ketakutan yang timbul manusia tak pernah siap untuk bebas, setidaknya jalan menuju makna kebebasan itu sendiri masih jauh. Manusia berlomba-lomba mendapatkan kebebasannya justru dengan cara menutup peluang untuk dapat bebas secara bersama-sama. Menginginkan kebebasan namun tak siap pada konsekuensi kebebasan itu sendiri justru dianggap kesalahan dalam memaknai kebebasan. 

***

Isyarat perilaku dalam makna kebebasan

Menjadi "manusia bebas" dalam maksud yang diutarakan Jean Paul Sartre bukanlah bebas dalam keadaan tanpa batas atau menjadi liar tanpa mengindahkan kaidah-kaidah pengetahuan dan budaya sosial. Justru beliau ingin menekankan bahwa menjadi bebas adalah menjadi bertanggungjawab secara jujur dan independen. Bebas memang tak dapat ditakar dalam kaidah moralitas baik dan buruk namun dapat dilihat dalam konsekuensi bertanggungjawab. Semisal menikah atau mencuri tak dapat dilihat nilai moralitasnya bila dalam konteks kebebasan, tapi bagaimana tindakan itu hadir sebagai pilihan murni dan menyadari konsekuensi hasilnya. Bebas dalam makna eksistensialisme Jean Paul Sastre adalah menyadari setiap pilihan dalam diri serta memahami resiko serta konsekuensi yang mengikuti pilihan tersebut. Menjadi independen dan menerima. Menjadi manusia yang merdeka pada pilihan tanpa harus menjadikan pilihan tersebut karena kebenaran umum. Bila kita kaitkan makna ini pada fenomena-fenomena dominansi yang menyelimuti masyarakat seperti kewajiban menikah, bersekolah, bekerja, memiliki anak, beragama dan berkeyakinan, bersosial, dan banyak hal lainnya kita dapat menemukan titik bahwa semua itu perpegangan pada keberanian untuk bebas memilih hidup serta menerima konsekuensinya. Dengan itu kita menemukan kebahagiaan. 





Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel