Sampah (Plastik) Menghantui Negara Berkembang
*
Plastik (baca: sampah) beberapa waktu terakhir ini menjadi isu yang hangat di dunia. Bagaimana tidak, hampir 80% industri dunia diberbagai sektor menghasilkan plastik maupun turunannya. Baik itu dalam sektor pangan, alat rumah tangga, transportasi, jasa dan komunikasi, mesin, infrastruktur, dan banyak lainnya semua menggunakan elemen plastik dalam produksinya. Hal ini niscaya mengahasilkan produk apkir pada masa tertentu. Sampah adalah konsekuensi yang dihasilkan dari semua aktivitas industri tersebut. Lantas kemana sampah-sampah (plastik) itu bermuara bila penelitian menyatakan bahwa penguraian alami plastik oleh alam dapat berlangsung hingga 1000 tahun?
Sebagai konsekuensi produksi plastik tersebut sebagai kebutuhan, sampah atau produk yang tidak dapat digunakan lagi dalam kebutuhan praktis, harus tersedianya regulasi dan tempat sampah plastik tersebut berakhir. Dengan tingkat produksi dan konsumsi plastik oleh dunia, otomatis permasalahan baru muncul yaitu opsi penempatan sampah maupun upaya pengolahannya kembali. Dengan mudah kita menemui berbagai bentuk sampah plastik dimana saja, mulai dari jalan raya, saluran drainase, lingkungan perumahan, tempat wisataa, bahkan laut/samudera. Anda dapat dengan mudah menemukan berita atau informasi tentang fenomena sampah plastik ini di internet.
Dibanyak negara sampah plastik ini menjadi kendala tersendiri. Pemerintah masing-masing seperti kesulitan menanganinya. Terjadi dilema yang sulit ditemukan jawabannya bahwa kebutuhan akan plastik tersebut belum menemukan alternatif yang tentunya ramah pada lingkungan. Bila pun ada sifatnya sangat kecil untuk menggantikan plastik. Regulasi penggunaan plastik serta kampanye pengurangan penggunaan plastik seperti tidak dapat menolak kenyataan produksi dan konsumsi plastik urung mengurang. Berbagai penelitian pada lingkungan bahkan menguji bahwa sampah plastik sudah menyentuh ketersediaan air tanah dalam bentuk mikro-plastik. Dalam wujud ekstrem, sampah plastik masuk hingga proses metabolik mahluk hidup. Apakah ini tak mengerikan?
Korban paling besar dari fenomena sampah plastik ini adalah negara berkembang. Industri dan ekonomi global memaksa setiap negara berkompetisi termasuk penempatan sampah plastik. Saling keterkaitan secara ekonomi membuat banyak pihak negara harus saling berhubungan juga pada sampah plastik. Negara-negara maju yang notabene memegang akses industri adalah penghasil dan konsumen plastik yang paling besar termasuk penghasil sampahnya. Perdagangan bebas dan transaksi internasional membuat negara-negara maju bebas membangun industrinya dimanapun dan negara berkembang adalah pilihannya. Semua ini semakin memicu dan menjadikan negara berkembang sebagai "tong sampah" produk plastik. Baru-baru ini sebuah media berita online memuat berita bahwa negara Eropa seperti Jerman dan Inggris mengekspor sampah plastiknya ke negara berkembang di Asia termasuk Indonesia. Sebuah lembaga non-profit dunia bernama National Geographic membuat penelitian dan investigasi bahwa sampah produk plastik hasil industri elektronik di Amerika membuang produk apkir dan sampahnya ke negara di Afrika. Juga termasuk penelitian bahwa samudera yang paling terisolir pun sudah tercemari sampah plastik. Lembaga perlindungan satwa juga banyak menemukan kematian satwa oleh karena mengkonsumsi sampah plastik. Fenomena ini nyata dan aktual. Negara berkembang yang mayoritas berada di benua Asia dan Afrika serta Amerika Selatan adalah sasaran utama untuk permasalahan tempat pembuangan sampah plastik. Ironisnya ketergantungan transaksi ekonomi membuat seakan negara berkembang tak mampu menolak sampah-sampah plastik ini.
**
Bila kita melihat secara objektif, korban utama dari sampah plastik ini adalah lingkungan hidup (tumbuhan dan satwa). Dan kembali manjadi ironi adalah tempat tinggal tumbuhan dan satwa liar mayoritas berada di negara berkembang (Asia, Afrika dan Amerika Latin). Tercemari oleh banyak sampah plastik hingga tempat yang sulit kita bayangkan semisal palung laut. Plastik membawa senyawa kimia karsinogenik yang diserap tanah dan dikonsumsi oleh tumbuhan, begitu pula satwa liar banyak yang meregang nyawa akibat menkonsumsi sampah "liar" ini di habitatnya. Berita tentang matinya seekor paus yang di dalam perutnya terdapat beratus kilogram sampah plastik atau penyu-penyu dan burung yang mati akibat hal yang sama mudah kita jumpai di berita dunia maya (internet). Sangat disayangikan.
Pertimbangan ekonomi dan kebutuhan negara membuat seakan pemerintah sulit mengendalikan permasalahan sampah plastik ini. Pula ditambah oleh sikap masyarakat yang sangat konsumtif pada produk plastik semakin mengokohkannya dipuncak permasalahan yang mustahil digapai. Bila negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika dan Kanada mudah menangani permasalahan plastik ini tanpa memungkiri bahwa salah satu sikapnya adalah mengekspor sampah plastik ke negara berkembang, tidak lain hanya karena kemampuan finansial negara yang mumpuni. Selebihnya bumi tetal menjadi korban utama secara umum dan tumbuhan serta satwa liar secara khusus. Peradaban negara berkembang urung menyadari atau menjadikan ini isu atau masalah yang bersifat nasional alih-alih plastik adalah sumber devisa yang besar.
Walaupun permasalahan sampah plastik ini sangat kompleks dan butuh regulasi besar untuk menanganinya, setidaknya mulailah menyadari ini sebagai masalah dan kesadaran yang kecil. Perilaku ekonomi dan sikap konsumsi kita adalah kunci dalam memerangi polemik sampah ini. Tak dapat kita pungkiri bahwa penggunaan yang masif oleh kita yang mendukung semua masalah itu muncul. Oleh karena itu menyadari dan merubah sikap itu secara perlahan dan sederhana niscaya upaya yang pasti. Dengan memulai dari diri sendiri dan perilaku akan konsumsi plastik tentunya yang menjadi solusi. Banyak alternatif yang bisa dimulai seperti mengurangi atau mencari pengganti produk plastik yang sering dikonsumsi semisal menyediakan botol minum portabel alih-alih selalu membeli air minum kemasan, membawa tas belanja alih-alih memakai kantongan plastik, membeli produk isi ulang adalah contoh perilaku mengurangi sampah plastik yang mudah dan sederhana. Dalam aksi yang lebih besar mungkin dengan memasyarakatkan perilaku tanpa plastik dengan orang-orang yang memulai kesadaran akan pentingnya pengurangan sampah plastik. Meski tak besar niscaya ini sangat berarti bagi kelangsungan peradaban dunia.***
Komentar
Posting Komentar