Menerima
di bangku besi swalayan tempat biasa aku hadir dan menunggumu untuk bersua melepas hasrat gelora SMA kita kuutarakan kalimat menyebalkan itu. Masa-masa kisah percintaan khas remaja akil balig yang terlalui berkelebat dalam kepala di malam yang cukup dingin itu karena sore hujan lebat. Masa SMA memang terkadang terasa benar sebagai masa emas. Masa dimana segala pengalaman akan hal-hal baru hingga hasrat ternikmati dengan jujur. Walau terdengar naif, setiap remaja SMA memiliki pengalaman dan hasrat itu. Tak terkecuali kita. Hasrat kita bergelora. Dinginnya malam juga bangku besi itu dengan cepat menarik kembali angan yang berlarian dengan riang pada kenyataan menyebalkan yang kuutarakan. Kau mungkin sudah menduga karena sikapku yang sejauh hari semakin berubah. Namun, keadaan malam itu tetap memberikan perasaan getir. Jalinan intim kita harus berakhir. Itulah inti kalimat dari panjangnya dalil perkataan ku. Dengan mata memerah, kau menerima.
Aku teringat pada masa remaja kita, masa SMA yang terasa berlalu begitu ringkas. Mengenalmu membawaku pada hasrat-hasrat remaja yang menggelora. Aku mengenal hasrat itu sebelumnya, tapi bersamamu hasrat itu berwujud dan nikmat. Apakah itu yang dinamakan cinta? Entahlah setiap orang punya versinya masing-masing. Yang pasti kau membawakan gelora rasa kepadaku. Aku masih mengingat dengan jelas masa dimana kita saling mengenal. Berkat teman karibmu sekaligus teman satu kelasku, aku perlahan mengenal imaji mu. Saat itu kita masih kelas 2 SMA. Saat raga dan jiwa sedang mekar dan segarnya. Kudengar dari teman karibmu yang juga teman satu kelasku itu kau memperhatikanku. Bagaimana aku menduga? Seorang gadis diluar kelas kami memperhatikanku beberapa minggu terakhir masa itu. Perasaanku berkecamuk antara senang dan penasaran. Kapankah kau melakukan itu? Kuduga saat jam istirahat saat kau bermain ke kelasku untuk bersua dengan teman karibmu itu. Mungkin ada saat-saat lain. Entahlah yang pasti itu membuatku segera ingin mengenalmu juga. Akhirnya masaku bertemu denganmu terwujud. Sebagai seorang lelaki yang seyogyanya mendahului wanita terlebih dalam hubungan emosional, aku memberanikan diri berkunjung ke kelasmu di lantai dua sekolah kita. Berkat teman yang kukenal dan kebetulan berada satu kelas denganmu aku punya satu alasan konyol untuk melihatmu. Berdalih menemui temanku itu. Akhirnya aku melihatmu dengan jelas. Wajah ovalmu saat itu masih kuingat dengan potongan rambut setengkuk khas siswa paskibra (pasukan pengibar bendera) sekolah. Dalam hati aku bergumam, bagaimana mungkin gadis semanis ini memperhatikanku (?). Gelora hasratku berkecamuk sejak saat itu.
Hari itu dan sesudahnya sebentuk rasa yang begitu purba, begitu primordial menyelimuti diri. Baik aku begitu juga kau. Hari-hari seakan banyak warna yang cerah walaupun rutinitas sekolah terkadang membuat jemu. Seperti paradoks, sekolah justru berbalik menjadi saat yang menyenangkan bila waktu-waktu dapat melihat wajah dan dirimu hadir. Waktu istirahat sekolah yang begitu singkat selalu memberi rasa genit pada diri bila melihat wajahmu dari teras depan kelasku. Diseberang sana yang dibatasi lapangan terbuka tempat kelasmu berada. Saat kau keluar entah karena sekedar ingin ke kamar kecil atau bersua dengan temanmu membeli makanan kecil di kantin di pojok sekolah, aku memandang. Mataku mencari wajah manismu begitu pula kau, terkadang mata kita bersirobok. Tanpa lisan namun aku tahu banyak arti dalam pandanganmu. Aku juga merasa demikian. Sungguh masa sekolah yang nikmat.
Bulanan berlalu dengan banyak peristiwa manis yang kita lalui. Kawula muda kerap menyebut masa mengenal itu sebagai masa PDKT. Bahasa prokem yang dikenal hampir semua kalangan remaja masa itu dan mungkin hingga kini istilah itu masih relevan dan dipakai kawula remaja yang penuh hasrat (?). Kapan tepatnya aku tak begitu mengingat, jalinan intim kita sepakati sebagai milik kita. Bukan aku sengaja lupa sebab teori itu tak relevan, namun semenjak aku melihat wajahmu saat itu juga aku yakin hasrat purbaku menemukan tempatnya. Kau. Gadis paskibra berambut gonjes. Kau mengenalkanku pada manisnya mengenal gadis. Pada manisnya bibir basah yang merekah. Pada gejolak saat lidah saling beradu dan liur yang berpadu. Pada tubuh kenyal penuh imajinasi. Pada tatapan yang memberi hawa panas. Pada keinginan berbalut kekhawatiran. Pada perbincangan yang memberi keteduhan. Tak luput pula pada pemberi rasa cemburu, amarah, sedih, konyol, gulana. Kau memberiku semua bentuk rasa pengalaman itu dalam dirimu yang kurangkul penuh melingkari pinggulmu yang kenyal saat kita duduk berhadapan di kamar kos belakang sekolah yang kusewa. Sehabis sekolah.
#bersambung
Aku teringat pada masa remaja kita, masa SMA yang terasa berlalu begitu ringkas. Mengenalmu membawaku pada hasrat-hasrat remaja yang menggelora. Aku mengenal hasrat itu sebelumnya, tapi bersamamu hasrat itu berwujud dan nikmat. Apakah itu yang dinamakan cinta? Entahlah setiap orang punya versinya masing-masing. Yang pasti kau membawakan gelora rasa kepadaku. Aku masih mengingat dengan jelas masa dimana kita saling mengenal. Berkat teman karibmu sekaligus teman satu kelasku, aku perlahan mengenal imaji mu. Saat itu kita masih kelas 2 SMA. Saat raga dan jiwa sedang mekar dan segarnya. Kudengar dari teman karibmu yang juga teman satu kelasku itu kau memperhatikanku. Bagaimana aku menduga? Seorang gadis diluar kelas kami memperhatikanku beberapa minggu terakhir masa itu. Perasaanku berkecamuk antara senang dan penasaran. Kapankah kau melakukan itu? Kuduga saat jam istirahat saat kau bermain ke kelasku untuk bersua dengan teman karibmu itu. Mungkin ada saat-saat lain. Entahlah yang pasti itu membuatku segera ingin mengenalmu juga. Akhirnya masaku bertemu denganmu terwujud. Sebagai seorang lelaki yang seyogyanya mendahului wanita terlebih dalam hubungan emosional, aku memberanikan diri berkunjung ke kelasmu di lantai dua sekolah kita. Berkat teman yang kukenal dan kebetulan berada satu kelas denganmu aku punya satu alasan konyol untuk melihatmu. Berdalih menemui temanku itu. Akhirnya aku melihatmu dengan jelas. Wajah ovalmu saat itu masih kuingat dengan potongan rambut setengkuk khas siswa paskibra (pasukan pengibar bendera) sekolah. Dalam hati aku bergumam, bagaimana mungkin gadis semanis ini memperhatikanku (?). Gelora hasratku berkecamuk sejak saat itu.
Hari itu dan sesudahnya sebentuk rasa yang begitu purba, begitu primordial menyelimuti diri. Baik aku begitu juga kau. Hari-hari seakan banyak warna yang cerah walaupun rutinitas sekolah terkadang membuat jemu. Seperti paradoks, sekolah justru berbalik menjadi saat yang menyenangkan bila waktu-waktu dapat melihat wajah dan dirimu hadir. Waktu istirahat sekolah yang begitu singkat selalu memberi rasa genit pada diri bila melihat wajahmu dari teras depan kelasku. Diseberang sana yang dibatasi lapangan terbuka tempat kelasmu berada. Saat kau keluar entah karena sekedar ingin ke kamar kecil atau bersua dengan temanmu membeli makanan kecil di kantin di pojok sekolah, aku memandang. Mataku mencari wajah manismu begitu pula kau, terkadang mata kita bersirobok. Tanpa lisan namun aku tahu banyak arti dalam pandanganmu. Aku juga merasa demikian. Sungguh masa sekolah yang nikmat.
Bulanan berlalu dengan banyak peristiwa manis yang kita lalui. Kawula muda kerap menyebut masa mengenal itu sebagai masa PDKT. Bahasa prokem yang dikenal hampir semua kalangan remaja masa itu dan mungkin hingga kini istilah itu masih relevan dan dipakai kawula remaja yang penuh hasrat (?). Kapan tepatnya aku tak begitu mengingat, jalinan intim kita sepakati sebagai milik kita. Bukan aku sengaja lupa sebab teori itu tak relevan, namun semenjak aku melihat wajahmu saat itu juga aku yakin hasrat purbaku menemukan tempatnya. Kau. Gadis paskibra berambut gonjes. Kau mengenalkanku pada manisnya mengenal gadis. Pada manisnya bibir basah yang merekah. Pada gejolak saat lidah saling beradu dan liur yang berpadu. Pada tubuh kenyal penuh imajinasi. Pada tatapan yang memberi hawa panas. Pada keinginan berbalut kekhawatiran. Pada perbincangan yang memberi keteduhan. Tak luput pula pada pemberi rasa cemburu, amarah, sedih, konyol, gulana. Kau memberiku semua bentuk rasa pengalaman itu dalam dirimu yang kurangkul penuh melingkari pinggulmu yang kenyal saat kita duduk berhadapan di kamar kos belakang sekolah yang kusewa. Sehabis sekolah.
Bila kukatakan waktu adalah teman setia sang rahasia, mungkin begitu adanya. Tak ada rahasia yang sukses mengangkangi sang waktu. Segala lini menjadi tombak sang waktu menembus tubuh rahasia. Demikian pula pada jalinan intim kita. Sang waktu yang menemani kebersamaan penuh hasrat remaja kita bukan tidak ada hambatan. Bahkan hal-hal klise pun kadang menjadi hambatan yang menggerogoti perasaan. Kekonyolan, keterbatasan, kebosanan, kebodohan, sentimentil, arogansi, harga diri, ketakpahaman, rasa saling mendorong, tuntutan yang absurd silih berganti menemani hari-hari bersama kita, namun ada yang selalu ku suka dari semua pergunjingan itu, kita saling menyukai!. Sapuan lidah yang berbelit dan bibir yang beradu selalu berhasil mengusir semua kegundahanku dalam jalinan intim kita. Kupikir kau juga begitu. Aku hanya menduga itu dari tatapan sayu rayu mu saat bibir kita terpisah. Sejenak bernapas.
Tanpa terasa status siswa SMA harus berakhir masanya bagi kita. Akupun acuh tak acuh memperhatikan bahwa kitapun berubah. Badan dan pikiran kita ternyata berubah ikut menua. Ikut mencoba menjadi bijak. Ditempah waktu dengan banyak persoalan klise kehidupan sosial kita, rajut kisah asmara kita pernah beberapa kali harus berburai. Namun entah bagaimana rasa kita atau memang hasrat kita yang masih terpaut, rajutan itu beberapa kali kita rajut kembali mengisi lubang-lubang intim yang sempat terhenti. Beberapa kali pula pikiran pendekku hampir meregangkan nyawa kita setidaknya mencederai aku terlebih kau. Lelaki muda sok jagoan yang kerap merasa hebat dan ingin tampil prima didepan wanitanya beberapa kali berujung hanya menjadi kerugian bagimu. Jiwa dan ragamu. Aku mengingat itu sebagai pengalaman hidup untukku. Kuharap juga untukmu. Aku menyadari kesalahan sepertinya adalah teman setiaku. Pongah.
Hingga harapan pada masa depan yang lebih baik membuat kita harus mengambil jalan. Menjajaki pendidikan tinggi menjadi alatku meraih masa depan cerah. Setidaknya aku tidak sendiri dengan keinginan yang muluk itu. Aku hanya seorang bekas siswa SMA yang penuh dengan doktrin indahnya dunia. Aku bersama banyak bekas siswa SMA lainnya berpegang pada tiang imaji yang rapuh. Kami bisa berbuat apa dimasa itu (?). Dan kau lebih memilih jalur sekolah tinggi pencetak pekerja profesional dibidang kesehatan. Sejauh yang kuingat, kau memang berhasrat pada dunia kerja demikian. Rasa kita mulai membentang sebab kita t'lah memilih jalur masa depan kita masing-masing. Jarak membuat nyata bentang itu. Tapi setidaknya kita memilih bertahan pada rasa kita yang banyak ditempah waktu dan jiwa muda kita yang semakin menua. Raga pun demikian. Namun, percik api asrama yang kita punya kurasakan mulai menunjukkan redup yang tak kasatmata. Jarak dan keterbatasan kujadikan kambing hitam pembenaran posisiku. Aku mulai hilang diri. Terbawa lingkungan baruku yang disebut kampus. Perspektif baru merasuki pemikiranku. Alangkah hebatnya lingkungan kampus merubah seseorang. Lebih dari penampilan, permainan pola pikir menjadi hiburan baru dalam lingkunganku. Perlahan aku mulai melupakanmu. Tapi tidak denganmu.
Jalinan intim kita memasuki babak baru. Sebelumnya kita hadapi dengan hari-hari saling bertatapan, kini hanya sesekali dapat kita lepas rindu yang ada. Kau dengan aktivitas pendidikan lanjut mu begitu pula dengan aktivitas kampusku. Menjadi mahasiswa pertanian tak seperti yang kubayangkan. Kegiatan belajar tata tani ternyata menyedot hampir semua mingguanku. Ruang bersua kita banyak hanya mengandalkan telepon genggam tuk sekedar berjumpa imaji. Kau mulai bosan. Namun tetap bertahan. Tahun yang tak begitu panjang kita lalui demikian. Rutinitas meracuni jalinan intim kita. Sesekali racun itu kita redam dengan kecupan pertemuan atau berjalan-jalan di waktu yang singkat membicarakan aktivitas masing-masing. Kita mulai menemui jalan buntu. Apakah bertahan, atau mengakhirinya. Setiap kita tak berani memilih. Hanya mampu mencinta.
***
Aku masih terdiam sehabis mengutarakan semua yang harus kusampaikan padamu malam itu di depan swalayan tempat biasa kita melepas rindu. Dinginnya bangku besi itu tak dapat mengusir panasnya hati dan pikiran. Aku memilih wanita lain. Kata itu tak kusangka mampu kukatakan kepadamu tepat saat mata kita saling menjemput. Lima tahun, mungkin juga hampir enam tahun aku tidak ingat pasti berapa lama kita menyusuri ruang cinta, tak mampu membendung hasratku sebagai manusia terlebih lelaki. Gadis teman satu kampusku itu yang kukenal hanya beberapa waktu cukup mengandaskan jalinan intim menahun kita. Aku tak menyangka aku begitu demikian egoisnya, apalagi kau yang harus menghadapi itu semua. Namun kupikir inilah kehidupan, semua hal tak terduga mampu menghampirimu dan merubah pendirianmu. Matamu masih sembap dan nanar. Jelaga malam mencoba menyembunyikan aura kesedihan yang menyelimutimu. Aku (?) bingung dengan semua pilihan yang kubuat pada diriku. Dengan begitu egoisnya, aku hanya memilih apa yang kusuka tanpa pernah memperhatikan orang disekitarku. Aku yakin esok aku akan mendapatkan buah hasil dari semua itu. Aku mesti siap.
#bersambung
Komentar
Posting Komentar