Aku Memandang Tao Toba
Sore begitu biasa saja seperti sore sedia kalanya. Cahaya matahari menembus kedalaman air pesisir danau memberi bentuk pada ikan-ikan berwarna jingga dan kelabu yang hilir-mudik bergerombol mencari sisa-sisa umpan para pemancing yang berjatuhan di dasar danau. Salah satu sudut danau bermukim itu tampak lebih ramai dari biasanya. Oleh pemancing, pasangan muda yang kasmaran dan juga keluarga-keluarga urban dengan tampilan mereka yang dari kata sederhana. Hari itu memang sedang libur nasional karena masyarakat dan pemerintahnya sedang merayakan ulang tahun Negara yang ke 74. Hari itu juga bertepatan dengan akhir pekan yang semakin melengkapi momen libur. Banyak pendatang dadakan hari itu adalah remaja sekolah yang datang dengan menumpangi angkutan umum yang sesak. Banyak diantaranya memilih duduk di atap mobil entah karena kapasitas mobil yang tidak mampu lagi menampung banyaknya anak remaja sekolah itu atau juga mungkin karena ingin memacu adrenalin dan emosi yang sedang membuncah hari itu. Jalan yang berkelok-kelok khas jalan menuju danau dengan jurang yang menganga di sisi lain jalan tak membuat nyali para penumpang di atas atap mobil menjadi ciut, justru angin danau yang menerpa wajah dan pemandangan indah terpampang di depan mata semakin menggoda untuk tidak diam saja. Mereka berteriak bersahut-sahutan. Merdeka!
Sore itu biasa saja seperti sedia kalanya. Aku tak begitu tahu harus bertindak seperti apa dalam menyambut hari kemerdekaan negara. Apakah aku harus mengikuti gaya para wisatawan muda itu atau ada hal lainnya? Sebab hampir semua orang girang dalam momen yang sama. Kuputuskan untuk pergi memancing saja sore itu sebab buku yang kubaca hampir seharian meringkuk di dalam kamar beratap rendah itu sepenuhnya kuingat jalan kisahnya. Hari itu buku novel yang kubeli hampir beberapa bulan yang lalu telah selesai kubaca tiga kali. Aku tak punya pilihan buku lain hari itu. Beberapa bulan ini aku tak mengisi bulan-bulan ku dengan buku yang baru atau setidaknya kisah yang lain. Mukimku berada kini cukup jauh untuk menjangkau toko buku maupuan loakan. Walau aku tak begitu menyukai aktivitas memancing namun kupikir itu pilhan yang layak sebab lebih aman dan berguna ketimbang aku harus ikut berteriak-teriak kata ”merdeka!” di atas atap mobil dan jalan berkelok-kelok seperti
banyak remaja sekolah itu. Dengan kail pancing dan sepeda motor milik suadara keluarga kutempuh perjalanan berkelok-kelok itu hingga sampai pesisir danau. Banyak pendatang ternyata telah memenuhi berbagai spot di pesisir danau. Oleh pemancing lain, pasangan muda dan juga keluarga-keluarga urban dengan tampilan mereka yang jauh dari kata sederhana.
Setelah menyusuri pesisir danau yang tak tahu dimana ujungnya itu, tak begitu jauh dari mukim pesisir danau yang marak dengan pendatang hari itu aku menemukan tempat di salah satu sudut pesisir yang kurasa cukup bagus untuk aku memancing. Tak begitu ramai dan keadaanya teduh dengan beberapa pepohonan serta sesemakan yang tumbuh liar di bibir pantai. Air danau cukup tenang sore itu, tak terlalu sering angin dari perbukitan datang menyapa danau. Akupun membuka tas berisi kail pancing dan segala perlengkapan memancing lainnya. Aku memancing.
Bentuk pesisir danau itu memang indah, melengkung seperti lintasan separuh oval sehingga kita seakan dapat melihat secara menyeluruh segala aktivitas yang sedang terjadi di pesisir danau. Lanskap perbukitan menjulang yang mengelilingi seperti menyembunyikan raga dalam ketentraman mereka. Samar-samar kudengar suara musik mengalun. Lamat-lamat kuperhatikan ternyata dikejauhan pesisir yang lain orang-orang sedang berkumpul dan ria menikmati alunan musik dengan tempo yang cepat itu. Sepertinya musik disko. Aku tak begitu jelas melihatnya sebab cukup jauh untuk mataku dapat menyaksikan apa saja adegan yang mereka umbar. Mungkin itu sebagai wujud kesenangan akan perayaan ulang tahun negara yang meriah itu. Entahlah aku tak begitu mengerti apa saja motivasi pendatang lintas usia itu. Apakah mereka memang betul-betul menyesapi makna kemerdekaan itu sehingga mereka berjoget dengan musik disko di bibir pantai atau memang aktivitas yang padat dan
semu seperti bekerja dan bersekolah yang kadang menjenuhkan terasa hilang saat momen hari kemerdekaan. Berlibur dan bersenang-senang kuduga sebagai motivasi terkuat bagi mereka bila kuperhatikan air muka mereka saat berpapasan di jalan menuju danau tadi. Muka-muka yang sejahtera dan tak begitu banyak pikiran. Sungguh menyenangkan bisa demikian.
Aku kembali melanjutkan aktivitas memancingku dan aku mulai merasa bosan sebab kulihat umpan yang kupasang silih berganti tak kunjung dinikmati ikan yang tergoda bau umpan. Apakah ikan-ikan di danau juga sedang merayakan hari kemerdekaan hari itu? Atau memang aku sedang sial saja. Aku mulai melupakan aktivitas memancing itu dan pergi melipir ke salah satu sudut pantai yang cukup sunyi disekitar area memancing itu. Aku melihat tumpukan batu besar didekat sebuah jemuran yang terbuat dari bambu yang tampak sudah lapuk dan ringkih. Aku mendaki salah satu tumpukan batu besar itu dan duduk diatasnya. Pandanganku luas menghadap air danau yang tenang dan perbukitan diujung danau yang vegetasinya tampak kering dan kusam. Sekarang memang sedang musim kemarau. Aku menghirup udara dan bau danau yang khas dalam-dalam. Aku diam sejenak dan berpikir dalam benakku. Aku teringat pada berita utama disalah satu koran lokal yang memberitakan sekelompok mahasiswa yang
berdemo menuntut pemerintah daerah menutup perusahan-perusahaan yang merusak dan mencemari ekosistem danau Toba. Begitu juga media sosial yang kuikuti menayangkan kegiatan ulang tahun organisasi masyarakat adat Indonesia yang dalam salah satu agendanya kegiatannya menyuarakan kepada pemerintah untuk mendesak perusahaan-perusahaan yang memiliki konsesi di area danau Toba untuk diudit dan dikontrol pergerakannya agar mengindahkan hak masyarakat adat terutama tentang hak lahan dan tidak lagi berusaha menggerogoti ekosistem danau Toba. Intinya adalah perusahaan-perusahaan itu harus diusir dari ekosistem danau Toba. Aku keluar dari ingatan benak itu dan kembali memandang air danau yang tenang. Tampak ikan-ikan berwarna jingga dan kelabu bergerombol hilir-mudik menikmati sisa-sisa umpan para pemancing yang jatuh ke dasar danau yang tampak karena terpapar cahaya matahari. Benarkah aku telah menjaga danau Toba Benarkah mereka yang bersuara menuntut hak danau dan masyarakatnya telah menjaga danau Toba? Benarkah masyarakat pesisir danau Toba telah menjaga danau? Benarkah pendatang dan pemancing itu telah menjaga danau Toba? Yang kutahu pasti aku ikut mengotori danau dengan aktivitasku. Yang kutahu aku menggerutu bila meilhat air danau yang semakin kotor dan terdapat banyak sampah. Yang kutahu terkadang aku kesal dengan mahalnya retribusi yang dipatok masyarakat setempat bila berkunjung ke danau. Yang kutahu danau tidak lagi asik dengan orang-orang yang datang yang juga mungkin berpikir danau tidak lagi asik karena ada aku. Yang kutahu bahwa banyak orang menggantungkan hidup pada danau dan yang juga menggerogotinya termasuk aku. Yang kutahu hanya membaca dan melihat berita di koran lokal serta media sosial lantas ikut mengutuk perusakan ekosistem danau Toba. Yang kutahu aku tak tahu harus berbuat apa pada danau purba yang sangat luas itu, yang usianya sudah banyak. Lebih banyak dari yang manusia ketahui. Aku kembali memandang lamat-lamat air danau dan perbukitan kusam dikejauhan. Begitu juga dengan pendatang di pesisir lain danau itu tetap menikmati musik disko yang dipasang di bibir pantai dan terdengar semakin kuat. Sesekali para pemancing disekitarku menyentak kailnya dengan cepat berharap ikan tersangkut di mata pancing. Sore mulai meredup dan aku tetap masih memandang tao Toba.
Catatan: tao (bahasa batak Toba) yang berarti danau.
Komentar
Posting Komentar