Catatan Sekelebat

Semalam langit cantik sekali

Menjelang petang semalam angin yang saban hari berhembus kencang tak tentu arah mulai mereda. Angin sepoi namun tetap dingin mulai menggantikan. Ayal jingga surya terbenam mulai menghias kaki  langit di perbukitan jauh yang diselimuti gumpalan awan basah itu. Mesti dingin namun aku tetap berbasuh diri melepas penat dan debu-debu. Berbasuh diri yang tak lama itu kuselesaikan dengan mencari sela-sela dan sisa-sisa kehangatan matahari. Memburu malam, jingga sang surya semakin pekat menutupi kaki langit. Seperti ada yang membakar langit akibat kemarau yang tentu arah di mukim aku berada. Pikiranku berkelebat oleh ayunan langit jingga pekat itu. Demi menghibur diri, kupinjam gitar bolong murahan milik penghuni gubuk tempat aku meminjam mandi itu. Kulantunkan lagu yang mungkin tak diketahui sang pemilik gubuk itu, lagu yang hanya untuk diriku dan mungkin untuk dirimu yang berdiam di ibukota sana. Tanpa acuhku langit ternyata telah legam. Malam menghampiri. Aku mendongak perlahan dengan tetap memetikkan melodi tak jelas pada senar gitar yang ada dipangkuanku. Langit yang bersih diatas kepalaku bermandikan bintangan mungil yang berserakan dan bulat sabit yang garang. Kemarau membawa amarah di siang hari dan mendamaikan ku di malam legam. Aku teringat pada dirimu di ibukota, yang mudah amuk karena rindu. Yang mudah pesimis sesaat saja. Mungkin karena rindu juga. Yang mudah cemburu karena kesendirian. Yang mudah memakan apa saja seperti kemarau menyantap kehidupan. Mungkin semua karena panas dan keringnya hari-hari saban ini. Aku tertegun, sesaat memberi kelegaan pada ruang pikir, kau seperti kemarau yang menyembunyikan keindahan langit malam dan menyajikannya pada mereka yang bersabar pada siang keringnya.

Pada dua pusara sahabatku

Pada dua pusara sahabatku yang tak kuketahui dimana pasti berada aku selalu merenung. Aku berharap langkah egoku akan membawaku sekedar mengunjungimu walau hanya lewat batu nisan yang bertuliskan namamu. Aku ingin berdoa pada sang khalik tepat di pusara dimana kalian ditanam kembali pada alam. Tak kubayangkan mampu khusyuk namun aku ingin berdoa. Bilalah kalian mampu mendengar dan merasakan jauh diatas pengertianku, tampar dan tendanglah aku yang tak pernah menemui walau hanya pusara tempat terakhir kalian terlihat. Aku ingin berkunjung pada dua pusara sahabatku yang entah dimana.

Sore ini

Di kaki langit jingga oleh sang surya terbenam berserakan. Beriringan dengan puncak langit yang masih menyimpan biru. Angin kemarau yang dingin berhembus bergantian mengisi setiap sela raga. Dikejauhan puncak bangunan kerucut gereja berwarna jingga kelam dibias jingga sore. Kemarau yang membikin kehidupan manusia itu terkadang menjadi sulit memang selalu menawarkan keindahan langit dan horison. Aku memandang puncak-puncak bukit yang mengelilingi lembah berselimutkan awan tebal. Aku memikirkan, disana pasti lebih dingin. Jingga kaki langit semakin pekat sekian waktu berlalu. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam namun legam masih urung tiba. Mungkin meringkuk diterpa angin dingin sore ini. Aku bergumam, selamat sore untuk dikau yang dirindukan jiwa. Semoga sore mu berselimut jingga-jingga indah.


Aku tak akan mati

Siang begitu terik tapi angin berhembus dingin. Kulit kering teroksidasi. Aku berjemur di siang hari yang terik karena angin dingin yang menerpa. Apakah itu baik? Entahlah aku tak cukup peduli. Yang kutahu aku hanya butuh kehangatan. Kehangatan yang alami. Jam di tangan menunjukkan pukul sebelas. Perutku berbunyi meminta tuk diisi. Aku bingung harus makan apa, sebab siang ini pekerjaan tak menghampiriku. Baiklah sepertinya hari ini aku harus puasa nasi dan lauk, setidaknya aku makan terik siang hari ini. Aku tak akan mati.

Aku menulis

Aku menulis malam ini. Di kamar beratap rendah dan berdinding asbes yang dingin. Malam memang selalu dingin untuk kamar mungil dibawah kaki bukit menjulang itu. Mataku masih enggan mengakhiri petualangan meski hari ini akan berganti. Aku menerawang pada kelebat kenangan. Pada hal yang khayali yang sulit terungkap dengan kata. Pada sosok-sosok yang menghampiriku bukan hanya rupa. Lewat ruang pikiran dan jiwa yang haus mereka juga hadir. Pada sosok dirimu yang menatap malam penuh kini. 

Ideologi

Ideologi. Ya kadang aku tak mengerti dengan orang-orang yang merasa memiliki pegangan ideologi dalam kehidupannya. Ideologi seperti mainan dan hiburan saban hari. Hanya bermain pada riak-riak tak menyentuh dasar pemahaman. Ya, kebanyakan memang seperti itu. Tak mungkin menyalahkan sebab tak ada guna. Keunikan dan ketakberbatasanya kemungkinan pikir manusia membuat kita tak mudah untuk merekayasa perilaku dan pola pikir orang-orang. Oleh karena itu tak mudah menilai. Setidak-tidaknya jangan mudah menilai. Cukup melihat dan tak menodai segala persepsi yang ada. Oleh sebab itu aku menyaksikan bejibun orang yang bermain-main dengan ideologi tanpa memahami secara mendasar. Kebanyakan dalam sosial-politik. Apakah tak bosan dengan indoktrinasi? Sebab yang kita lakukan demikian. Bermain-main dengan indoktrinasi lewat kata-kata ideologis kepada sesama manusia. Layaknya ini adalah kesesatan. Bagi diri kita terlebih orang lain yang belum memahami. Harusnya pendidikan membebaskan bukan memaksakan. Sebab kesederhanaan pikir adalah keniscayaan pengetahuan. Hidup adalah sederhana, yang mewah adalah teori-teorinya. Bukankah om Pram berkata demikian (?) Entahlah. Sebaiknya ideologi dipahami secara matang dan substansial sehingga tidak menjadi kesesatan pikir bagi orang lain sebab itu akan membawa perilaku. Bila kesemua itu tak membawa perubahan pada diri dalam tingkat yang sederhana sekalipun, ideologi hanya bagaikan gundu yang dipermainkan anak-anak yang lekas lupa dan rindu kembali saat gundu dimainkan anak-anak lain dikemudian hari. Begitu seterusnya. Bukankah lebih baik dihentikan dan menemukan diri (?)

Angin berhembus 

Mukimku yang berada di kaki bukit yang berdiri sendiri itu selalu menawarkan angin. Angin berhembus. Walau terik menyambar, angin yang berhembus dari pungung bukit sendiri itu tetap dingin. Tubuhku merasakan anomali. Terik yang diselimuti dingin angin. Beginilah bila kau bermukim di kaki bukit. Kulitmu akan kering dan retak bagaikan tanah merindukan air. Begitu juga dengan bibir yang selalu meminta air. Kemarau memang hal yang biasa. Bagian dari siklus biosfer. Namun kemarau bagi orang-orang modern kini yang telah terbiasa mengakali siklus alaminya akan merasa kesulitan saat kemarau tiba. Terang yang sepanjang hari dibantai lampu listrik, panas hari yang dibentengi kipas angin dan kondisioner udara, air segar yang dimanipulasi lemari pendingin, makanan serba ada dalam bungkusan plastik begitu pula berbagai macam rasa minuman dalam botol plastik yang begitu banyak hingga kadang aku sulit membedakannya. Ya, kehidupan modern memang membawa loncatan jauh kehidupan manusia, hingga aku kadang lupa dan khawatir bila kata "modern" tiba-tiba saja hilang oleh karena situasi. Aku lupa membenahi diri bahwa hidup adalah permasalahan adaptasi. Aku, kau, kita tak berdaptasi pada alam. Tak berkenalan dengan alam dan tak mau tahu sifat dan kebutuhan alam. Kita adalah pemerkosa. Memerkosa kenikmatan, meninggalkan kepahitan.

Kontemplasi

Aku meringkuk dalam selimut tebal berbulu pagi itu. Jendela tepat diatas kepalaku atau tepatnya sebuah lubang petak yang dijadikan ventilasi kamar sempit dan rendah itu menyisipkan cahaya dan partikel uap air kedalam kamar. Pagi itu embun turun rendah. Karena itu cuaca pagi semakin dingin. Mentari pagi hanya tampak samar-samar dan redup. Kabut menyelimuti hampir seluruh perkampungan tempat aku tinggal itu. Aku menyaksikan pagi itu dari teras kamar dilantai dua rumah tempatku tinggal. Teras sempit sama seperti kamar yang sempit itu. Atap-atap seng rumah warga yang kesemuanya tampak kecoklatan dan kusam itu basah oleh kabut. Aku menerawang sisi kananku, bukit sendiri yang menjulang itu tampak buram dan dingin. Aku merasa khidmat dengan situasi yang kuhadapi. Aku merasa dekat dengan sang empunya alam. Entah siapa tapi aku menghargai khidmat yang kurasakan. Kedekatan yang tak jua kutemukan saat mengunjungi rumah peribadatan yang bangunannya besar dan meruncing setiap minggu. Aku hadir dengan kondisi yang prima dengan balutan pakaian resik. Namun sepertinya empunya alam tak mengindahkan hal-hal profan. Acap kali aku mengantuk saat pewarta berpidato di atas mimbar. Menggenapi kebutuhan peribadatan sudah lebih dari cukup untuk tetap merasa lega ditengah keluarga dan masyarakat yang mencintai Tuhan itu. Pagi ini, tak begitu lama berselang kabut mulai menghilang ditelan panasnya mentari yang merangkak menguasai hari.

Kamar beratap rendah itu

Hari-hari berlalu seperti biasanya, tak banyak yang terjadi dan berubah padanya. Begitu pula dengan aktivitas yang kulalui di mukim yang "kusinggahi" hari-hari ini. Pagi terbiasa dingin untuk memulai aktivitas yang kuanggap monoton. Ya, setiap kita memang melakukan hal yang monoton mulai dari hal kecil hingga berharga, suka atau tidak alam ini monoton dan kita ada didalamnya. Tak perlu banyak berdalih untuk situasi itu. Hanya perlu dilakukan dan dijalani. Siang menjelang aku kembali pada rumah yang kutumpangi untuk mengisi perut yang terkadang tak terlalu kosong. Bila waktu memungkinkan atau aku menginginkan, beristirahat sejenak di kamar beratap rendah yang berada di lantai dua rumah itu adalah salah satu hiburan tersendiri buatku. Rumah itu sebenarnya tak dapat dikatakan rumah berlantai dua sebab lantai dua yang menjadi tempat kamar beratap rendah itu berada hanyalah sebuah modifikasi bagian dapur rumah hingga akhirnya terbangun sebuah lantai dua yang sempit yang awalnya difungsikan sebagai gudang peralatan bekerja milik empunya rumah. Waktu berjalan dan kebutuhan juga berjalan serta kamar beratap rendah itu pun tercipta. Kamar itu dapat dikatakan sedikit dipaksakan bila menimbang estetika dari sebuah kamar. Tapi kamar tetaplah sebuah kamar yang memiliki fungsi dasar sebagai wadah beristirahat kapanpun kita ingin. Kamar itu memiliki jendela yang  dibentuk dari bekas lubang pada dinding kamar. Memiliki terali besi yang entah apa fungsinya. Sebab terali itu terlihat janggal bila dikatakan sebagai pelindung dari binatang nakal seperti kucing atau anjing yang ingin masuk kamar itu sebab dinding kamar yang berlapis seng sangat sulit untuk dijangkau binatang itu atau pada bagian terburuknya oleh tangan-tangan nakal pun akan berpikir dua kali untuk meraih jendela kamar sempit itu. Lantai dua rumah itu memiliki teras kecil dan sempit sebagai tempat menjemur pakaian dan terkadang kujadikan tempat bersantai meski terkadang tak nyaman oleh banyaknya kain yang bergelantungan. Penawar suramnya kamar itu adalah pandangan yang bebas pada sebuh bukit sendiri yang terlihat menjualang dan tinggi disebelah kiri kamar itu. Hanya tampak bila aku menjenguk teras sempit itu. Ya, mukim itu memang tepat berada disebuah kaki bukit sendiri yang menjulang. Hari-hari yang dingin adalah pemandangan dan perasaan biasa di mukim ini. Bila pagi menjenguk, warganya berjalan sambil menyilangkan tangan disela ketiak untuk menghalaui dingin pagi yang terkadang tak menentu terlebih bila angin dari perbukitan menghembus kencang. Aku juga mengalami hal yang sama setiap pagi seperti warga di kaki bukit sendiri itu. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel