Hujan Tiba

Siang ini bibit kentang yang telah kupersiapkan jauh hari, telah kutanam. Bibit-bibit itu telah teronggok cukup lama disalah satu sudut gubuk ladang itu. Tunas-tunas muda yang berwarna merah jambu dan terkadang kekuningan telah muncul dari beberapa mata tunas bibt kentang itu. Bentuknya cukup menyeramkan, seperti ekor monster dalam film-film pahlawan animasi anak-anak. Meruncing dan memiliki gerigi yang terkesan tajam. Bibit kentang itu terbungkus dalam sebuah kotak kayu yang cukup rapi. Bibit itu memang dikirim langsung dari pulau Jawa dari sebuah balai pertanian disana. Persisnya aku tak tahu dari kota mana bibit itu berasal. Sang pengirim dan pemilik ladang hanya mengatakan bahwa bibit kentang itu adalah bibit super dan memiliki harga yang jauh lebih mahal dari bibit petani biasanya. Aku tak begitu memahami bagaimana bibit kentang yang bagus sebenarnya, sebab kuperhatikan tampak dari sela-sela kotak kayu bibit kentang itu berukuran relatif kecil dan kulitnya mulai mengeriput karena tak kunjung ditanam. Dan hujan turun begitu derasnya siang ini menunda rencana menanam bibit kentang super itu. 

Suhu disekitar ladang itu dengan tergesa turun. Berganti dari suhu yang sejuk sejak pagi tadi menjadi cukup dingin lembab. Hujan tetiba mengganti suasana cuaca dan suhu. Lantai semen gubuk tempat aku berteduh juga ikut-ikutan menjadi dingin. Membuat pangkal paha bagian belakang menjadi kebas. Jemari kaki pun menjadi kaku karena dingin lantai yang menjalar. Sesekali kuubah posisi duduk agar kebas yang menyerang hilang dan sesaat kemudian datang kembali bila telah duduk dalam posisi yang sama cukup lama. Hujan tak kunjung mereda meski telah lebih dari satu jam aku merubah-ubah posisi duduk dilantai gubuk itu. Kembali aku mengatur strategi duduk agar tetap mendapatkan sedikit kenyamanan dan kehangatan. Bagian ujung celana panjang karet yang saban hari kugunakan bila bersentuhan dengan aktivitas diladang itu basah akibat saat hujan mulai turun sejam yang lalu aku masih saja melanjutkan aktivitas berladang itu menyiapkan lubang tanam untuk bibit kentang yang rencananya kutanam hari ini. Dingin semakin menusuk dari sela-selan celana basah itu.

Langit begitu gelap tertutup awan yang berkumpul berwarna keabuan yang jamak. Perbukitan yang biasanya tampak menjulang dikejauhan bila langit cerah tak tampak sedikitpun. Hanya awan gelap seperti asap dari pembakaran batok kelapa. Angin sesekali berhembus kencang diiringi silau kilatan petir yang bergemuruh. Menambah cekam menjelang sore itu di ladang. Benakku menerawang jauh mencoba mengusir keadaan yang tak nyaman sore itu. Beberapa pekerja dari ladang tetangga yang berteduh di gubuk yang sama denganku mencoba menyalakan api unggun untuk mengurangi rasa dingin yang menyelimuti diri. Api itu menyala dari kayu sisa batang bawah pohon jeruk yang banyak terdapat di ladang itu. Batang asam itu adalah bekas batang bawah tanaman jeruk hasil sambung mata tunas. Tanaman jeruk diwilayah ini memang menggunakan teknologi sambung mata tunas untuk tanaman jeruk sebab disinyalir dan terbukti batang pohon asam memiliki kekuatan dalam menopang pohon jeruk terutama akar-akarnya yang panjang. Batang itu masih menyisakan akar tunggang yang cukup besar membuat tumpukan batang bawah itu tampak seperti kumpulan kaki-kaki monster yang tak jelas bentuknya. Bercampur dengan koran bekas dan beberapa potong karet bekas ban dalam sepeda motor api mulai menghangatkan orang-orang disekitar gubuk itu. Aku ikut bergabung. 

Hujan tak kunjung reda dan mataku mulai terserang kantuk akibat tubuh yang mendingin. Aku menyintas kenangan masa laluku yang tak begitu istimewa dan tak juga begitu biasa bagiku. Berbagai peristiwa, pemikiran, tindakan dan keputusan yang kupilih dan ambil membawaku hingga berada disebuah ladang dan gubuk yang dingin karena hujan yang tak kunjung reda dan api unggun yang coba mengimbangi cuaca dingin sore itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel