Kesadaran Kapitalisme
Disebuah ladang tomat tidak jauh dari jalan provinsi, tiga orang pemuda yang salah seorang dari mereka telah beristri dan beranak tampak sedang menyorong buah tomat hasil petikan dua wanita dan satu pria baya. Salah seorang dari wanita itu adalah istri dari pemuda yang telah beristri dan beranak itu, sedangkan wanita lainnya dan pria baya itu adalah orang tua dari istri pemuda yang telah beristri dan beranak itu. Ladang tomat yang terbilang luas itu berkontur lembah dan didatarannya yang paling tinggi dan cukup landai berdiri gubuk tempat hasil panen tomat diletakkan dan dikemas untuk dibawa ke pasar pelelangan hasil panen ladang. Gubuk itu juga berfungsi sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian sekaligus tempat tinggal keenam orang pemanen tersebut serta seorang balita anak dari pemuda beristri tersebut. Tepat disamping gubuk sederhana itu ada sepetak tanah kosong yang ditempatkan bangku kayu untuk sekedar beristirahat atau kebanyakan digunakan oleh sang pemilik ladang untuk memantau ladang tomatnya sekaligus para pekerjanya. Dia dengan kacamata yang tak terlalu gelap lensa kacanya terpasang diatas kepala dan sebatang rokok merek Marlboro terselip disela jemari tangan sebelah kiri memantau ladang. Sesekali dia akan berteriak lantang bila dia merasa ada pekerjanya yang mulai lamban dalam bergerak. Dengan tergesa-gesa pekerja itu akan kembali pada pergerakannya yang optimal. Pemanenan ladang tomat itu telah berjalan dua hari sebab ladang yang begitu luas hanya dipanen oleh enam orang yang dua diantaranya bahkan telah paruh baya. Sang pemilik ladang bersungut-sungut sebab harus merogoh kocek sedikit lebih dalam untuk membayar upah para pekerjanya dan harga tomat minggu itu turun sedikit dari harga biasanya. Terik yang menyengat ubun-ubun tak menyurutkan semangat sang pemilik ladang untuk memerintahkan para pekerjanya mencapai target yabg diinginkan selesai hari itu. Para pekerja itu bersungut-sungut meski hanya di dalam hati dan berharap tuannya luput dari pandangannya kepada mereka dan pemanenan tomat itu berlangsung lebih lama lagi. Sebab semakin lama selesai pekerjaan itu semakin besar pula upah mereka. Namun, sang pemilik ladang yang telah berpengalaman bertahun-tahun menghadapi para pekerja dari berbagai suku dan ras tak pernah kehabisan akal untuk membuat pekerjanya tetap bekerja optimal. Sesekali dia akan mengancam memotong upah bila dia memperhatikan para pekerja itu mulai mengatur strategi berlama-lama dalam bekerja. Hal seperti itu sudah lumrah dihadapinya. Hingga sore berakhir pemanenan tomat itu selesai hingga pengemasan dalam keranjang bambu yang dilapisi kertas koran dan rerumputan pada alas dan bagian dalamnya. Sang pemilik ladang membagikan upah para pekerja itu sebanyak dua hari kerja dan dia bergegas ke pasar pelelangan membawa hasil ladangnya. Setelah menerima upah tiga pemuda itu bergegas pergi ke salah satu warung yang menjual tuak (minuman beralkohol dari nira kelapa yang difermentasi) untuk melepas penat seharian itu. Sang istri salah seorang pemuda itu menggerutu sebab harus segera menyiapkan makan malam untuk mereka semua sekaligus membersihkan balitanya yang kotor sebab saban hari bermain disekitar ladang tomat. Ibu dari sang istri ikut membantunya menjaga dan membersihkan sang cucu. Pria paruh baya yang juga ayah sang istri duduk dibangku disamping gubuk itu tampak kelelahan. Berpuluh tahun dia telah menekuni pekerjaan seperti itu di ladang yang silih berganti serta tuan yang sejauh dia ingat memiliki sifat dan tabiat yang hampir sama. Dia tak menyangka situasi itu akan berlanjut hingga pada anak-anaknya juga suami dari anaknya. Dia sebenarnya bukan tak menyangka berpikir sedemikian rupa, untuk dia yang hanya seorang perantau dari sebuah pulau yang sulit air tawar itu. Ratusan perantau yang berasal dari pulaunya juga mungkin berpikir demikian hingga kini. "Pulau kami miskin dan tak ada uang yang dapat dihasilkan dari tanah sialan itu". Begitu dia berujar bila sedang mabuk tuak dan seseorang bertanya tentang asal-usulnya. "Disini cukup enak, dengan tenagaku saja aku sudah dapat menghasilkan uang untuk kunikmati saban hari. Sudah begitu saja tak perlu repot-repot dan capek berpikir. Toh, kehidupan begini-begini saja. Yang perlu hanya uang yang banyak dan kau bahagia. Percayalah. Aku sudah melalui kehidupan yang sulit kau bayangkan. Sejauh ingatanku yang paling masuk akal dari apapun adalah uang. Hanya itu.". Begitulah sang pria paruh baya itu menasehati salah seorang pemuda belia yang baru beberapa minggu di kota asing itu dan mereka bertemu di warung tuak tersebut. Pemuda belia itu juga dari pulau yang sama dengannya. Mereka bertemu dan berbincang di warung itu beberapa hari yang lalu dan mereka terakhir berbincang saat pemuda belia itu pergi menyorong buah tomat hasil petikannya menuju gubuk di dataran yang paling tinggi itu.
keren tulisannya. selamat berkarya teroos. saya suka juga tampilan blognya
BalasHapusbtw, jangan lupa mampir juga ke blog saya Blog Alister N ya. sekalian krisan kalo berkenan.