Pada sebuah kematian

Sore ini seperti sore-sore sebelumnya. Dingin dan berangin khas musim kemarau dataran tinggi wilayah tropis. Aku duduk disebuah bangku bambu yang pondasinya tertanam ke tanah. Aku memilih menyaksikan pertandingan voli dekat rumah tempat aku tinggal itu alih-alih menghilangkan kebosanan pada pandangan yang sama saban hari. Rutinitas. Aku tak begitu bersemangat menonton pertandingan itu sebab aku sebenarnya tak terlalu menyenangi permainan saling tampar bola itu. Lalu aku menerawang ke sekitar sesekali mencari sesuatu yang mungkin lebih menarik untuk diperhatikan. Tepat dibelakang bahuku dan bangku bambu itu, seorang pria paruh baya yang terlihat kumuh sedang mencerabuti berbagai jenis rerumputan yang tumbuh liar disekitar luar lapangan pertandingan voli itu. Meski sedang kemarau rerumputan itu tampak memilih untuk bertahan hidup walau kuperhatikan tak ada jejak air disekitar tumbuhan itu. Hanya debu yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Pria itu masih asyik meloloskan rerumputan itu dari dalam tanah dan mengumpulkannya pada satu bagian yang kemudian dilemparkannya ke dalam bara api tempat dia menghangatkan diri bersama orang-orang yang juga sedang menyaksikan pertandingan itu. Aku menyaksikan bagaimana rerumputan itu tercerabut dan menampakkan akar-akarnya yang kurus namun cukup panjang. Itulah "tulang punggung" kehidupan saban harinya. Aku tak begitu yakin rerumputan itu mampu bertahan hidup di musim kemarau ini ditambah kaki-kaki yang lalu-lalang kerap menginjaki. Mereka memilih hidup. Hingga diakhir tangan sang pria paruh baya itu menjadi penentu masa kehidupannya yang terseok-seok. Tak ada perasaan. Tak ada keadaan yang dramatis. Tak perlu akal panjang. Tak perlu seni. Tak perlu pertimbangan. Tak perlu falsafah dan pesan moral. Kematian rerumputan itu berjalan sedemikian rupa tanpa tedeng aling-aling. Dan rerumputan itu berlalu dari hadapanku, hadapan pria paruh baya itu, hadapan mereka yang berkumpul menghangatkan diri pada bara api yang merubah materi kimiawi sang rumput yang terbakar hingga tak layak disebut mahluk yang hidup, dan dari hadapan para rerumputan yang masih bertahan dan cukup beruntung lolos dari jangkauan dan pikiran sang pria paruh baya. Kematian berlalu begitu saja. Sederhana. Aku kembali menoleh pada pertandingan voli yang membosankan itu. Aku mulai kedinginan dan memilih kembali ke dalam rumah tempat aku tinggal dan melupakan kematian rerumputan ditangan pria paruh baya itu. Toh, esok kematian lainnya akan berlalu lagi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel