Kopi Kayu

Kemarin aku terkenang. Pikiranku melintas jauh ke masa aku kecil ketika mataku melihat seonggok batang kopi yang terlihat sudah tua. Pohon kopi itu terlihat kontras diantara tanaman lain yang ada dilahan itu. Atau dari kebanyakan pohon kopi yang kukenal masa kini. Batang kopi itu tampak gemuk dan besar dengan banyak bonggol disekeliling batangnya. Terlihat juga banyak tumbuhan menumpang sejenis lumut dan tanaman merambat kecil lainnya yang menutupi batang pohon kopi itu. Pohon kopi itu tampak menjulang cukup tinggi dan lebar. Dahan-dahannya juga tampak besar dan gemuk serta tumbuh bebas kesegala arah. Dahan itupun banyak diantaranya diselimuti tumbuhan lumut dari pangkal hingga ujung tangkainya. Daun-daun pohon kopi itu lebar dan tebal serta berwarna lebih tua dari warna daun kopi yang sering kulihat kekinian. Suasana dingin dan lembab sangat tampak dan terasa saat kulihat tanah disekitar pohon kopi itu yang terlindungi oleh dahan-dahannya. Tanah itu tampak hitam dan basah serta meruapkan hawa dingin yang khas. Bau tanah yang bercampur wewangian daun rumput yang tumbuh dibawahnya. Dahulu aku mengenal pohon kopi itu dengan sebutan kopi kayu yang dikemudian hari setelah aku beranjak remaja mengetahui jenis tanaman kopi itu robusta. Tanaman kopi robusta yang khas dengan tubuhnya yang besar pernah menjadi primadona pertanian dikampungku. Setiap masyarakat yang memiliki ladang pasti memiliki tanaman kopi robusta disamping tanaman buah lainnya seperti durian, langsat, manggis, rambutan, pisang, kemiri, beberapa jenis jambu dan kelapa. Namun jumlahnya tidak sebanyak kopi robusta sebab tanaman buah tersebut hanya "rejeki" yang dipanen sekali setahun. Tetapi kopi robusta adalah tanaman penyambung hidup sehari-hari kala itu bagi masyarakat kampungku. Berbuah hampir sepanjang tahun dan ranum setiap dua mingguan membuat para petani bisa mendapatkan uang setiap setengah bulan. Buah kopi robusta yabg ranum berwarna merah yang mengkilap. Seperti warna darah yang mengental. Legam namun mewah. Bagiku dan kawan-kawan semasa kecil, menikmati lendir yang terdapat dalam buah kopi robusta yang ranum adalah kenikmatan tersendiri. Rasa manis yang khas.

**

Bagi anak-anak yang bertumbuh dengan latar belakang kampung seperti aku, menemukan keasyikan bersama adalah keniscayaan. Tak seperti anak-anak yang hidup di kota besar yang bisa menikmati berbagai fasilitas hiburan modern dengan menggelontorkan sejumlah uang, anak-anak yang hidup dikampung seperti aku dahulu harus mensiasati keadaan untuk menemukan atau setidaknya mendapatkan hiburan ala kanak-kanak. Keadaan kampung mesti menjadi alat hiburan semisal halaman tanah depan yang luas bisa menjadi arena berlarian bersama sebaya dan wahana bermain kelereng atau karet gelang yang warnanya merah. Pekarangan belakang rumah pun yang umumnya adalah pelataran ladang masyarakat menjadi arena bermain lainnya. Memanjat berbagai jenis pohon yang memungkinkan untuk dipanjat adalah sebuah kesenangan tersendiri terlebih bila pohon itu sedang mengeluarkan buahnya yang manis. Mendapatkan pandangan yang luas atap-atap seng rumah juga menjadi pemandangan yang jarang didapatkan sebab rumah dengan loteng masih cukup jarang kala itu. Keadaan ekonomi masyarakat kala itu tak memungkinkan masyarakat membangun rumah dengan loteng disamping belum terlalu membutuhkan rumah dengan tipe demikian. Lapangan rumput tak terawat milik desa menjadi arena pusat bermain bagi anak-anak kampungku. Selain sebagai tempat bermain bola kaki oleh orang dewasa kala sore datang, bagi anak-anak lapangan rumput itu juga menjadi tempat bagi banyak permainan lain bagi kami anak-anak seperti tempat bermain layangan, meriam dari bambu yang sumber dentumannya dari minyak lampu yang dipantik dengan api. Lapangan berumput itu dikelilingi oleh rumpun bambu yang batangnya berukuruan kecil yang biasa kami panen untuk dijadikan senjata yang bisa mengeluarkan suara letupan keras hasil dorongan kertas basah yang diselipkan ke dalam lubang bambu. Kami menyebutnya dengan "petar-petar". Begitulah sepertinya anak-anak kampung kebanyakan menemukan keasyikannya sendiri dengan keadaan. 

Kembali pada pohon kopi robusta yang membuat anganku berkelebat. Aku masih mengingat dengan jelas bagaimana tanaman kopi diladang itu bagai menjadi sahabat pelepas penat dan kebosanan seorang anak akan aktivitas ladang yang saban hari mesti dikerjakan. Pohon-pohon kopi yang ditanam dengan jarak yang umumnya teratur itu seperti menyelimuti ladang dengan dahan-dahan besarnya bagaikan menjalar diudara. Seperti kami anak-anak kampung yang kerap berkumpul untuk mencari kesenangan, dahan-dahan itupun seperti ingin saling bertemu untuk menemukan kesenangannya. Ladang yang dipenuhi oleh kopi robusta itu sering tampak seperti senja bila berada didalamnya. Seakan lembab menyelimuti diri bila sedang beraktivitas dibawahnya. Bagi kebanyakan anak-anak seperti aku pasti akan merasa terbebani dan jenuh bila sudah mengetahui akan beraktivitas diladang sepulang sekolah sebab hal itu akan menyita waktu dan hanya menyisihkan sedikit waktu di sore hari untuk bermain bersama teman dan sebagainya tentang bermain. Memanen buah kopi yang telah merah, menyiangi ladang dari rerumputan, mengumpulkan buah kemiri yang telah jatuh ke tanah, memotongi dahan kering untuk bahan bakar dirumah atau mengumpulkan tanaman keladi untuk makanan ternak babi dibelakang rumah adalah sedikit dari banyak pekerjaan yang bisa dikerjakan diladang. Dan bagi anak-anak aktivitas itu bagaikan beban yang sulit dijelaskan. Namun, sebagai anak yang tumbuh dikampung dan terbiasa dengan keadaan kampung, tetap menemukan hiburan dikala waktu aktivitas ladang itu adalah upaya untuk bertahan dari beban pekerjaan. Dan pohon kopi robusta itu adalah sahabat paling mengerti. Bila pekerjaan hari itu adalah memanen kopi, aku biasanya akan memanjat batangnya untuk meraih buah pada ujung-ujung rantingnya. Pohon kopi robusta memang menjulang cukup tinggi sehingga perlu alat khusus untuk meraih buah merahnya yang berada diujung ranting bagi orang dewasa. Dan bagi kami anak-anak dengan memanjat adalah hiburan tersendiri. Dengan membawa ember kecil sebagai wadah panen aku akan memanjat batang pohon dengan menapakkan kaki pada bonggol-bonggol batang kopi yang mencuat disekeliling batang. Tidak terlalu sulit. Bila telah berada diatas dahan pohon kopi, ember akan digantungkan disalah satu ranting yang cukup kuat untuk menopang beban ember. Proses memanen ala anak-anak pun dimulai. Walau terkadang semut merah menyerang kulit sebab rumahnya menjadi terganggu, hal tersebut tidak terlalu menggangu pekerjaan. Bagiku dan kawan-kawan yang menghadapi hal serupa, memanjat pohon kopi robusta saat masa panen seperti mengaktifkan imajinasi. Aku akan berandai bagai seorang ninja Jepang yang lihai melompat dan memanjat itu. Karena dahan kopi yang bagai menjalar diudara dan saling bertemu dengan dahan pohon kopi lainnya membuat aku memungkinkan untuk berpindah pohon kopi tanpa harus turun ke tanah terlebih dahulu. Proses berpindah pohon ini adalah hal yang paling menegangkan sekaligus paling mengasyikkan sebab bila sukses imaji layaknya seorang ninja semakin kuat terpatri dalam benak. Dan ini membawa kesenangan yang sulit dijelaskan. Bila para orangtua memanen buah kopi dari bawah pohon dengan alat, kami para anak memanen buah kopi dengan imajinasi. Kopi kayu membawa banyak kesenangan dan kesempatan hidup yang bermakna. 

***

Aku kembali dari kelebat anganku itu. Kini aku yang telah dewasa tak lagi memiliki semangat mencari hiburan dan permainan seperti anak-anak dulu. Kehidupan kota menjadi adaptasi tubuh dan pikiran yang harus kujalani. Banyak kesadaran muncul setelahnya. Meski demikian tak ada penyesalan dalam kehidupan sebab itu hanya kesia-siaan. Kampungku kini sudah cukup sulit menemukan ladang penuh dengan pohon kopi robusta sebab beberapa tahun yang lalu perubahan siklus pasar ekonomi dan iklim politik negara yang bergejolak membuat roda ekonomi terganggu. Harga kopi robusta pun ikut kena imbasnya. Masyarakat kampung mau tidak mau harus mencari alternatif komoditas tani lainnya untuk melanjutkan aktivitas ekonomi ladang. Dan hingga kini tanaman kakao adalah alternatif itu. Meski beberapa ladang masih memiliki tanaman kopi robusta, namun jumlahnya tidaklah lagi banyak. Hanya sisa-sisa tanaman yang sengaja tidak ditebang dengan berbagai tujuan. Sebagai pengingat barangkali bagi setiap petani yang memiliki memori bersama kopi robusta. Dan dahan-dahan kopi kayu itu terputus sejak saat itu. Aku tidak tahu persis bagaimana anak-anak sekarang dikampungku mensiasati hiburan bagi mereka. Apakah masih sama dengan yang kurasakan bersama kawan-kawan sebayaku dahulu (?) aku tak terlalu yakin sebab perkembangan teknologi dan modernitas juga telah menyentuh kampungku. Hiburan sarat teknologi bukan lagi barang mewah bagi anak kampungku bila sekilas aku memperhatikan anak-anak saat aku kembali ke kampung bersua rindu dengan orangtua dan sanak saudara. Aku memang percaya bahwa setiap orang punya masanya masing-masing sehingga memperbandingkan kualitas kesenangan yang dialami setiap orang adalah kesia-siaan pada jenjang masa apapun. Namun sepertinya teknologi membuat anak jauh dari lingkungan sekitarnya terlebih pada alamnya. Aku tak tahu apakah itu membuat mental dan psikologis kita menjadi rapuh dan luput dari proses hidup yang penting atau sama saja. Entahlah

Kopi kayu yang kini kutahu adalah kopi berjenis robusta itu pernah menghidupi masyarakat banyak kampung seperti kampungku dan juga mengisi relung anak-anak dimasa itu. Dia bagaikan sahabat yang tak mengenal keluh dan iri. Hanya menawarkan kesenangan dan kehidupan. Tak pernah meminta dengan rengek apa yang menjadi kebutuhannya. Hanya rasa saling membutuhkan dan menghormati keberadaan yang dimilikinya. Walau keadaan dan kebutuhan hidup harus menggantikan masanya dengan tanaman lain, aku percaya dia hidup dihati dan benak seperti aku yang memiliki pengalaman dengannya. Bagi mereka yang pernah bersentuhan dengan bonggol kopi robusta. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel