Wisata Halal Danau Toba? Apakah Sudah Tepat?
Baru-baru ini sebuah pernyataan dari pemerintah provinsi Sumatera Utara yang disampaikan langsung oleh Gubernur Edy Rahmayadi membuat riak gejolak ditengah masyarakat Sumatera Utara khususnya masyarakat etnis Batak yang mayoritas beragama Nasrani. Bagaimana tidak, pernyataan itu berisi tentang rencana program menjadikan wilayah danau Toba sebagai wisata syariah dan wisata halal. Sontak masyarakat Sumatera Utara yang mendengar dan membaca pernyataan ini dari berbagai media sosial "ribut" dengan rencana program wisata tersebut. Meski pemerintah provinsi Sumatera Utara telah memberi klarifikasi tentang bagaimana rencana dan bentuk serta tujuan dari wisata syariah dan halal tersebut namun masyarakat etnis Batak yang ada di Sumatera Utara maupun diluar Sumatera Utara (Perantau red.) merasakan adanya hal yang janggal dan tidak etis dalam program tersebut. Masyarakat Sumatera Utara yang terkenal dengan pluralismenya baik suku, ras, dan agama menilai dengan adanya rencana program tersebut pemerintah justru coba membangkitkan sentimen kelompok dan berpotensi pada kecemburuan sosial yang sensitif. Masyarakat etnis Batak juga menilai Gubernur Edy Rahmayadi tak memahami konsep prioritas wisata alih-alih tak mengenal masyarakat sendiri.
Wilayah danau Toba beberapa tahun terakhir memang menjadi fokus program wisata yang dikembangkan pemerintah pusat. Menjadi salah satu prioritas wisata membuat banyak perhatian dan program yang disuntikkan pada wilayah danau Toba untuk menggenjot peningkatan kualitas wisata. Mulai dari dana, fasilitas, akses, pengembangan wilayah, dan modul wisata. Terlebih dengan terbentuknya BODT (Badan Otoritas Danau Toba) yang dikontrol langsung oleh pemerintah pusat membuat perhatian terhadap wisata danau Toba semakin nyata. Walaupun keberadaan BODT masih menjadi pro-kontra bagi masyarakat Sumatera Utara khususnya yang mendiami wilayah danau Toba (etnis Batak) sebab justru muncul permasalahan baru terlebih alih fungsi lahan masyarakat untuk wisata yang dicaplok BODT. Pemerintah daerah (Pemerintah Sumatera Utara) pun turut serta mengambil peran dalam rencana program pemerintah pusat tersebut terhadap wilayah danau Toba. Namun titik mulai yang diambil dianggap masyarakat kurang atau tidak tepat sebab langsung menyentuh kebutuhan wisata yang tak vital (wisata syariah dan halal). Perbaikan fasilitas dan akses yang selama ini kurang diperhatikan yang seharusnya diutamakan justru dikesampingkan. Pemerintah daerah mengklaim akan melaksanakan perbaikan tersebut berbarengan dengan program wisata syariah dan halal tersebut.
Masyarakat yang mendiami wilayah danau Toba adalah mayoritas etnis Batak. Walaupun demikian bukam berarti tidak ada pendatang dari etnis dan suku lain yang mencari kehidupan di wilayah danau Toba. Bukanlah hal baru mudahnya mencari makanan halal di wilayah wisata danau Toba. Berbagai rumah makan halal tersedia dari warung pinggir jalan hingga restoran. Tempat beribadah bagi umat non-nasrani (mushola dan mesjid) juga telah banyak berdiri sehingga tidak cukup sulit untuk menemukannya. Sejauh ini, belum pernah terdengar ada kendala bagi wisatawan non-nasrani yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya baik fisik maupun spiritualnya (tentang peribadatan). Masyarakat etnis Batak di wilayah danau Toba pun tak pernah mempermasalahkan keberagaman masyarakat yang kini mendiami wilayah danau Toba hingga tak pernah terdengar gesekan antar masyarakat yang terdengar atau terjadi. Keberadaan masyarakat yang plural itu pun bukan hal baru di wilayah danau Toba. Sudah dari lama hal tersebut berjalan dan tidak ada kendala. Justru yang menjadi kendala adalah kurangnya perhatian pemerintah daerah pada fungsi-fungsi umum seperti akses dan fasilitas yang seharusnya disokong untuk semakin mempermudah wisatawan dalam menikmati danau Toba. Hal vital ini justru yang luput dari perhatian pemerintah daerah dan kini membuat program yang tidak relevan serta bukan prioritas dari keadaan wilayah danau Toba.
Bila merujuk pada wilayah-wilayah wisata kelas dunia seperti Jepang dan rata-rata negara Wisata populer di Eropa memang pemerintahnya telah menerapkan pola wisata demikian (wisata halal red.) pada wilayah-wilayah potensial wisatanya. Hal ini disadari sebagai bentuk realisasi wisata internasional yang diemban. Namun dalam penerapannya bukan berarti keberadaan wisata asli menjadi hilang atau tersaingi oleh konsep wisata halal tersebut. Pengadaan fasilitas-fasilitas halal seperti restoran, penginapan dan rumah peribadatan adalah sebagai bentuk apresiasi dan alat kemudahan bagi wisatawan yang hadir dari berbagai negara. Hal itu juga untuk menunjang peningkatan kuantitas kunjungan wisatawan internasional. Diatas itu semua, sinergi penunjang wisata yang terutama seperti akses dan fasilitas umum telah terpenuhi. Hal ini berbeda dengan situasi dan kondisi yang dihadapi wilayah danau Toba yang justru belum memenuhi kriteria akses dan fasilitas umum tersebut. Oleh sebab itu hal prioritas tersebut harus diutamakan terlebih dahulu oleh pemerintah daerah maupun pusat bila memandang jauh danau Toba sebagai potensi wisata internasional. Potensi-potensi yang telah dimiliki oleh danau Toba seperti kultur budaya dan peninggalan bersejarah justru abai maksimalkan keberadaan sebagai bahan penarik wisata. Wilayah potensil lainnya yang dimiliki danau Toba juga masih banyak yang belum tersentuh akses dan fasilitas umum untuk mempermudah wisatawan mengunjunginya. Seharusnya ini menjadi skala kerja utama yang direalisasi. Pengadaan wisata syariah dan halal memang salah satu cara dalam upaya peningkatan kunjungan wisatawan terlebih wisatawan non-nasrani dari berbagai daerah namun hal itu bukalah prioritas terkini danau Toba.
Pelibatan masyarakat dalam pengembangan dan perbaikan wisata danau Toba sangatlah penting sebab masyarakat adalah instrumen pokok dalam mengembangkan wilayah wisata terlebih masyarakat lokal yang mendiami wilayah wisata tersebut. Seperti danau Toba yang notabene menjadi wilayah mayoritas masyarakat etnis Batak harusnya diberi peran dan ruang dalam pendapat maupun perwujudan pengembangan wisata. Pengembangan ini seharusnya berangkat dari kebutuhan dan keinginan masyarakat sebab kondisi dan realitas yang terjadi justru dialami dan dipahami masyarakat. Bila tidak, rencana-rencana pengembangan hanya akan jalan ditempat dan tak tercipta sinergitas antara pemerintah dan pelaku masyarakat alih-alih masyarakat setempat. Memperbaiki hal-hal yang vital pada wilayah danau Toba seperti akses dan fasilitas dan melibatkan masyarakat secara wawasan dan kinerja dalam pengembangan wisata danau Toba akan lebih memberi dampak nyata pada danau Toba. Dengan berjalannya sinergitas tersebut pengembangan wisata syariah dan halal hanya masalah waktudm dan kebutuhan serta tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Bukan menjadi pro-kontra yang tidak menghasilkan apa-apa.
Komentar
Posting Komentar