Rantau

Siang itu begitu terik. Bahkan sekujur rumput benggala tampak menguning. Tak ada tanaman yang dapat dipanen hari itu. Padi telah lama menghilang dari kampung bersama dengan air yang mengaliri bendar di sepanjang terasering. Sudah 28 bulan hujan hilang dari kampung. Imaji tentangnya pun mulai pudar dikikis rasa lapar dan kekhawatiran tentang esok. Begitu yang tampak pada wajah-wajah kusam orang kampung. Anak-anak bermain sepuasnya sebab sudah lama mereka libur dari rutinitas membantu mengurusi ladang bapak. Namun kebanyakan dari mereka pergi ke batas hutan untuk mencari buah perduan yang memiliki sedikit rasa manis. Sekedar mengganjal rasa kurang kenyang dari sepiring ubi kayu rebus pagi tadi. Para ibu sesekali menggerutu dari dapur rumah sebab kepala rumah tangga kebingungan memenuhi kebutuhan rumah. Paceklik menyelimuti kampung sudah 28 bulan. Debu kekuningan melekat, tampak jelas pada dinding dan pintu rumah-rumah kampung. Pada halaman yang luas tanah tampak retak-retak menyerupai gambar peta buta. 

Bisuk, satu dari banyak pemuda yang kehilangan rutinitas di ladang bapak tampak lelah. Bukan karena pekerjaan melainkan lebih oleh rasa lapar yang kerap tak terpenuhi dengan baik. Dia harus berbagi seekor ikan asin bakar dengan kelima adiknya sebagai lauk bersama ubi kayu rebus. Saban hari dia hanya terduduk di bawah teduhan pohon kemiri di depan rumah. Meski debu beterbangan mengusik, namun itu adalah salah satu tempat paling nyaman diantara teriknya hari. Dia merenung tentang hari-hari kampung yang kian tak jelas. Dia tak tahu sampai kapan terik akan pergi. Sementara kehidupan semakin sulit karena ladang tak lagi bisa ditanam. Dia merasa semakin tak berdaya dengan keberadaannya yang menambah beban rumah. Dia punya tenaga dan harapan, sementara kampung sepertinya tak lagi memiliki itu. Dan adik-adiknya semakin rewel. Dia berpikir untuk pergi.

Kata pergi begitu rancu bagi orang kampung. Sebab sejauh yang mereka bisa kenang, kampung selalu menyediakan apa yang mereka butuhkan. Dapat bekerja dan makan dengan nikmat, lantas mengapa harus pergi? Bisuk tak dapat memantapkan kata itu dalam benaknya. Terasa sangat menerawang dan sulit menemukan kebentukannya. Namun dirinya memerlukan solusi dari semua kejadian kampung. Dan dia mulai menyusun imaji tentang kata pergi sedikit demi sedikit. Dunia luar begitu abu-abu tapi berisi kemungkinan-kemungkinan yang lain dari keadaan kampung. Sesaat menyelami benaknya dia beranjak dari sandaran pohon kemiri yang kulitnya ditumbuhi lumut menuju rumah beratap rumbia milik bapaknya untuk berbicara tentang kata rancu yang muncul dibenaknya. Pergi...

Ibunya sedang menjerang rebusan ubi kayu ketika dia masuk ke dalam rumah. Tudung saji diatas sebuah meja kayu sederhana tampak telah lama tak menjalankan tugasnya; melindungi sajian pemilik rumah dari gangguan tikus serta kucing pencuri. Tudung saji berbentuk setengah bola itu berabu dan kelam. Pria paruh baya pemimpin keluarga itu tampak sedang mengumpulkan rerantingan di belakang rumah itu untuk bahan bakar memasak sesuatu; yang entah apa saja yang bisa dimasak. Bisuk menemui ibunya dan meminta untuk berbicara bersama. Setelah beberapa saat sang ibu menghentikan aktivitasnya dan memanggil suaminya. Suaminya sama terkejutnya dengannya saat Bisuk menyampaikan perihal kata rancu itu. Bapaknya terkesiap ketika istrinya menyampaikan kata pergi dan keinginan yang disampaikan anaknya. Terlebih Bisuk adalah anak sulung yang tenaganya paling bisa diandalkan mengerjakan ladang. Tapi dia juga tak bisa mengeluarkan dalil yang cukup mampu mengubah keinginan Bisuk. Dia bergeming saat mereka bertiga berkumpul di dapur rumah ditemani asap tipis dari tungku. Langit-langit rumah itu terasa gelap dan memang gelap oleh jelaga. 
'Apakah kau sudah memikirkan masak-masak tentang keinginan mu itu nak?' Bapaknya menghentikan gemingnya. 'ya Pak, aku sepertinya tak punya pilihan lain terhadap situasi kesulitan yang menimpa kampung kita. Keseluruh adikku semakin kurus dan ladang tak kunjung bisa dikerjakan'. Bisuk coba menjelaskan secara ringkas inti dari masalah yang dirasakan oleh seluruh orang kampung. Bahwa pergi adalah satu-satunya jalan baginya dan peluang bagi keluarganya. Namun sang Bapak kembali mengatakan bahwa kampung adalah hidup mereka yang diwariskan leluhur. Begitu pula dengan adat dan budaya yang membuat mereka hidup tenteram di kampung hingga akhirnya paceklik mengandaskan semua akal dan laku. Pergi menjadi seperti nyata dalam benak sang Bapak. Namun, keyakinan dan keteguhannya pada kampung dan esok pasti berubah membuatnya geming pada pilihannya untuk tidak berkata iya pada kata pergi. Bisuk tetap pada pilihannya. 

Percakapan itu hanya berlangsung sebentar diikuti suara sedu sedan Ibu mengingat pilihan Bisuk untuk pergi. Dia juga menyadari masa sulit itu namun bukan berarti keberatan untuk memberi makan semua anaknya termasuk bisuk, meskipun hanya ubi kayu rebus dan secuil ikan asin bakar. Bapak kembali dengan aktivitas mengumpulkan rerantingan tanpa bersuara lagi. Dan Bisuk kembali ke bawah teduhan pohon kemiri untuk menghabiskan sisa hari yang tak berarti itu. 

Matahari baru saja muncul dari ufuk timur di depan rumah sederhana telah berdiri seorang pemuda dengan menghadap arah jalan keluar kampung. Bapak dan ibunya berada dibelakangnya beserta kelima adik-adiknya yang masih malas berdiri sebab terpaksa bangun. Sebuah tas punggung berwarna hitam dan terlihat murah melekat di balik badan sang pemuda. Beberapa potong pakaian, sisa beras untuk rumah itu yang terasa sangat mewah sebab hanya di makan sekali seminggu dan tiga ekor ikan asin kering mengisi tas punggung berwarna hitam itu. Tak lupa sehelai "Ulos" yang tampak tua dan bijaksana diselipkan diantara potongan kain. Hanya kain itu harta yang dimiliki sang Bapak untuk pemuda yang ingin pergi itu. Sang Ibu semenjak kemarin masih saja menangis hingga meninggalkan kerak kering pada sekujur pipinya. 'Ingatlah kampung nak,' hanya itu kata perpisahan pagi itu. Dan Bisuk pergi...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 tahun sudah

Pada Sahabat Yang Pergi, Kusampaikan

Beberapa Paragraf Untuk Gembel