Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2019

Menulis Sebagai Kampanye Sadar Lingkungan

Peningkatan minat dan tren akan kegiatan pendakian gunung beberapa tahun terakhir ini memang sangat signifikan. Pendakian gunung bukanlah lagi kegiatan milik kalangan-kalangan tertentu saja yang khusus berfokus pada dunia pendakian seperti kelompok mahasiswa pencinta alam, komunitas-komunitas pendaki gunung atau lembaga pemerintah yang khusus menangani wilayah gunung atau perbukitan. Hari ini siapa saja sudah dapat dengan mudah untuk melaksanakan kegiatan ini. Tingginya pertumbuhan minat akan pendakian juga diikuti oleh menjamurnya usaha atau orang-orang yang mampu menyediakan jasa/barang yang berhubungan dengan kebutuhan pendakian gunung.  Bila sebelumnya sangat sulit untuk menyiapkan peralatan atau mengusahakan jasa dalam pendakian gunung, hari ini siapa saja dapat dengan mudah mendapatkan hal tersebut hanya melalui genggaman tangan ( Ponsel Pintar red .). Sistem penyewaan peralatan pendakian gunung hari ini pun turut membantu kemudahan bagi orang awam untuk melakukan k...

Pada tanah leluhur

Tanah itu menyimpan banyak misteri Yang terungkap dan tertelan masa lupa Bukit-bukit yang menyimpan cerita Pada generasi pencipta marga Tanah yang dipilih itu diberkahi Rasa kesuburan dan keindahan  Pemberi kehidupan beratus tahun Pada generasi pencipta budaya Air danau dan tanah berundak Saksi bisu beribu peristiwa Lahirnya bijak dan spiritualitas Para penghayat keharmonisan Tanah iitu kini dilupakan Digerayangi rasa rakus manusia lupa Melupakan tanah leluhur dan penciptanya Pada hayat yang mencintai tanah

Indoktrinasi

Bayi berumur seminggu menerima pembatisan Bayi berumur seminggu berkhitan Bayi berumur seminggu menerima ritual suci Bayi berumur seminggu teronggok dalam plastik kerisik bau sampah Segerombol belia berpakaian seragam Dengan rompi berwarna cerah di taman membosankan Seorang guru memperhatikan dan mengajar Muak. Namun hidup harus bergaji Segerombol anak-anak berseragam Dengan warna melabangkan citra bendera Orang tua berharap anaknya cerdas Mendapati kekesalan dan uang yang tergerus hilang Seorang  mahasiswa asik menerima doktrin Pada masa depan dan rangkaian cerita lampau Seorang sarjana berjalan ditepi aspal hitam Dengan berkas diri semerawut dalam tas punggung Bingung....

Absurditas

Seorang anak lahir dan menjadi tidak berguna Seorang pelajar bersekolah dan menjadi malas Seorang pelajar belajar dan menjadi bodoh Seorang anak lahir dan menjadi pembenci Seorang remaja beragama setiap hari Seorang remaja tetap jahat setiap hari Seorang remaja berharap masa depan ceria Seorang pria dewasa mulai menerima realitas Seorang tua terkulai di kasur beralas putih Perilakunya membunuhnya perlahan Seorang tua yang hidupnya ceria Diinginkan tapi segera akan mati Seorang pintar dibanggakan dan lenyap karena mati Seorang jahat diingat dan lenyap karena mati Seorang anak lahir dan menjadi jahat Seorang ibu menangis anaknya tak membanggakan Pria bersahaja berharap mati membawa nikmat Pada kematian yang tak pernah jelas Seorang hanya ingin makan Dan mati sehabis itu

Tanah ladang itu...

Pagi ini kabut cukup banyak menutupi pandangan sekeliling, mungkin imbas hujan gerimis yang sedikit lama tadi malam. Atap-atap rumah yang terlihat dari jendela kamarku yang beratap rendah tampak basah dan semakin berwarna coklat. Namun dingin tak terlalu meyakinkan pagi itu (?), entahlah aku merasa demikian mungkin efek aku tak mandi sejak kemarin. Aku berencana pergi ke ladang pagi itu lebih cepat dari biasanya sebab rencana menanam bibit cabai yang telah direncanakan jauh-jauh hari dan ladang juga telah disiapkan medianya untuk ditanami cabai. Pagi itu masih pukul 07.00 WIB, tanpa melewatkan ritual pagiku yang biasa kubuka dengan menyeduh kopi dan menikmati beberapa batang rokok di teras sempit kamar dilantai dua yang beratap rendah itu, aku pergi menuju ladang. Kabut menutupi pandangan sekeliling saat aku memacu sepeda motor milik saudara yang saban hari kupakai bila pergi ke ladang. Ladang itu tampak basah oleh embun dan sisa hujan tadi malam. Tanahnya tampak sangat kecoklatan. Pla...

Aku Memandang Tao Toba

Sore begitu biasa saja seperti sore sedia kalanya. Cahaya matahari menembus kedalaman air pesisir danau memberi bentuk pada ikan-ikan berwarna jingga dan kelabu yang hilir-mudik bergerombol mencari sisa-sisa umpan para pemancing yang berjatuhan di dasar danau. Salah satu sudut danau bermukim itu tampak lebih ramai dari biasanya. Oleh pemancing, pasangan muda yang kasmaran dan juga keluarga-keluarga urban dengan tampilan mereka yang dari kata sederhana. Hari itu memang sedang libur nasional karena masyarakat dan pemerintahnya sedang merayakan ulang tahun Negara yang ke 74. Hari itu juga bertepatan dengan akhir pekan yang semakin melengkapi momen libur. Banyak pendatang dadakan hari itu adalah remaja sekolah yang datang dengan menumpangi angkutan umum yang sesak. Banyak diantaranya memilih duduk di atap mobil entah karena kapasitas mobil yang tidak mampu lagi menampung banyaknya anak remaja sekolah itu atau juga mungkin karena ingin memacu adrenalin dan emosi yang sedang membuncah hari ...

Hujan Tiba

Siang ini bibit kentang yang telah kupersiapkan jauh hari, telah kutanam. Bibit-bibit itu telah teronggok cukup lama disalah satu sudut gubuk ladang itu. Tunas-tunas muda yang berwarna merah jambu dan terkadang kekuningan telah muncul dari beberapa mata tunas bibt kentang itu. Bentuknya cukup menyeramkan, seperti ekor monster dalam film-film pahlawan animasi anak-anak. Meruncing dan memiliki gerigi yang terkesan tajam. Bibit kentang itu terbungkus dalam sebuah kotak kayu yang cukup rapi. Bibit itu memang dikirim langsung dari pulau Jawa dari sebuah balai pertanian disana. Persisnya aku tak tahu dari kota mana bibit itu berasal. Sang pengirim dan pemilik ladang hanya mengatakan bahwa bibit kentang itu adalah bibit super dan memiliki harga yang jauh lebih mahal dari bibit petani biasanya. Aku tak begitu memahami bagaimana bibit kentang yang bagus sebenarnya, sebab kuperhatikan tampak dari sela-sela kotak kayu bibit kentang itu berukuran relatif kecil dan kulitnya mulai mengeriput karena ...

Kesadaran Kapitalisme

Disebuah ladang tomat tidak jauh dari jalan provinsi, tiga orang pemuda yang salah seorang dari mereka telah beristri dan beranak tampak sedang menyorong buah tomat hasil petikan dua wanita dan satu pria baya. Salah seorang dari wanita itu adalah istri dari pemuda yang telah beristri dan beranak itu, sedangkan wanita lainnya dan pria baya itu adalah orang tua dari istri pemuda yang telah beristri dan beranak itu. Ladang tomat yang terbilang luas itu berkontur lembah dan didatarannya yang paling tinggi dan cukup landai berdiri gubuk tempat hasil panen tomat diletakkan dan dikemas untuk dibawa ke pasar pelelangan hasil panen ladang. Gubuk itu juga berfungsi sebagai tempat menyimpan alat-alat pertanian sekaligus tempat tinggal keenam orang pemanen tersebut serta seorang balita anak dari pemuda beristri tersebut. Tepat disamping gubuk sederhana itu ada sepetak tanah kosong yang ditempatkan bangku kayu untuk sekedar beristirahat atau kebanyakan digunakan oleh sang pemilik ladang untuk meman...

Pada Realitas

Orok terbungkus kantong plastik ditempat sampah, Mati. Orok basah berbaur  bau sampah, tali pusarnya terburai. Sepasang belia menyewa kamar, asyik masyuk. Seorang ayah menggagahi putrinya yang masih akil balig.  Seorang belia bingung telah mengandung Seorang belia lagi bingung tak mengerti resiko berbuat Seorang bidan menggenapi jalan sesaat Orok terbungkus kantong plastik ditempat sampah, Mati.  Disudut rumah ibadah sepasang resmi  Khusyuk mendambakan orok yang lucu  Menggenapi kebahagiaan resmi Orok basah berbaur bau sampah, tali pusarnya  terburai. Disudut sana pesan-pesan moral bertebaran Bagai selebaran promosi sepeda motor Orok masih saja bermunculan yang tali pusarnya terburai Pada gundukan sampah yang dihinggapi lalat

Pada sebuah kematian

Sore ini seperti sore-sore sebelumnya. Dingin dan berangin khas musim kemarau dataran tinggi wilayah tropis. Aku duduk disebuah bangku bambu yang pondasinya tertanam ke tanah. Aku memilih menyaksikan pertandingan voli dekat rumah tempat aku tinggal itu alih-alih menghilangkan kebosanan pada pandangan yang sama saban hari. Rutinitas. Aku tak begitu bersemangat menonton pertandingan itu sebab aku sebenarnya tak terlalu menyenangi permainan saling tampar bola itu. Lalu aku menerawang ke sekitar sesekali mencari sesuatu yang mungkin lebih menarik untuk diperhatikan. Tepat dibelakang bahuku dan bangku bambu itu, seorang pria paruh baya yang terlihat kumuh sedang mencerabuti berbagai jenis rerumputan yang tumbuh liar disekitar luar lapangan pertandingan voli itu. Meski sedang kemarau rerumputan itu tampak memilih untuk bertahan hidup walau kuperhatikan tak ada jejak air disekitar tumbuhan itu. Hanya debu yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Pria itu masih asyik meloloskan rerumputan itu dari...

Aku Mahasiswa Aksi

Aku Mahasiswa aksi Beraksi di jalanan, di depan institusi-institusi Berkoar-koar dengan pengeras suara di tangan kiri Bersama gerombolanku teriakkan ketidakadilan Aku Mahasiswa aksi Beraksi adalah tujuanku  Aksi apa saja dengan toa di tangan kiri Gerombolanku juga Mahasiswa aksi Aku Mahasiswa aksi Berkumpul dan diskusi saban hari Mempertanyakan ketidakidealan sistem Membengis pada penguasa-penguasa tak sempurna Aku Mahasiswa aksi Menjadi kritis dan melawan adalah keniscayaan Pada ketidakadilan dan orang-orang kecil Pada petani dan buruh yang bekerja keras Aku Mahasiswa aksi Kemewahan bukanlah gerombolanku Solidaritas adalah semboyanku Kapitalisme adalah musuhku Aku  Mahasiswa aksi Beraksi adalah tren ku Mencoba kritis, solid dan melawan adalah fungsku Kumpul dan diskusi adalah kegemaranku Memperjuangkan keadilan adalah impianku Mumpung aku masih mahasiswa Mumpung perut, istri, anak, uang dan kekonyolan belum bertamu Aku Mahasiswa aksi Entah sampai kapan...

Catatan Sekelebat

Semalam langit cantik sekali Menjelang petang semalam angin yang saban hari berhembus kencang tak tentu arah mulai mereda. Angin sepoi namun tetap dingin mulai menggantikan. Ayal jingga surya terbenam mulai menghias kaki  langit di perbukitan jauh yang diselimuti gumpalan awan basah itu. Mesti dingin namun aku tetap berbasuh diri melepas penat dan debu-debu. Berbasuh diri yang tak lama itu kuselesaikan dengan mencari sela-sela dan sisa-sisa kehangatan matahari. Memburu malam, jingga sang surya semakin pekat menutupi kaki langit. Seperti ada yang membakar langit akibat kemarau yang tentu arah di mukim aku berada. Pikiranku berkelebat oleh ayunan langit jingga pekat itu. Demi menghibur diri, kupinjam gitar bolong murahan milik penghuni gubuk tempat aku meminjam mandi itu. Kulantunkan lagu yang mungkin tak diketahui sang pemilik gubuk itu, lagu yang hanya untuk diriku dan mungkin untuk dirimu yang berdiam di ibukota sana. Tanpa acuhku langit ternyata telah legam. Malam menghampiri. A...

Memberangus

Apakah kau tahu (?) Kebenaran tak pernah melegakan Pengetahuan tak pernah membikin nyaman Apakah kau merasakan itu (?) Di sudut jauh mereka berteriak Mengepalkan jemari memberi ronta Pada keyakinan yang menggarisi kebenaran Apakah kau tahu (?) Entah untuk apa huruf saling terangkai Sebab kau tak bebas untuk menulis Entah untuk apa sekolah berada Sebab kau tak bebas menjadi orang Di sudut jauh mereka berteriak Pada buku yang diam dan mati sebab penulisnya telah mati Entah apa yang membikin mereka gemeletuk Mungkin keyakinan mereka terkoyak tulisan Mereka memberangus Pada kebenaran yang tak melegakan  Pada pengetahuan yang tak membikin nyaman  Pada buku-buku yang penulisnya telah mati

Tanah Merah Sebuah Pulau

Tanah merah yang menghampar berkilau diterpa sinar matahari Debu berhamburan sebatas pundak orang dewasa Tak terdapat hehijauan selain perdu dan ilalang yang mencoba hidup Sesekali kadal kecil berlarian mencari tanah yang menggelap Tanah merah itu meruapkan bebauan yang kering Ada asa yang tertunda di atas tanah merah kering itu Hujan yang lama tak berkunjung menyisakan kebencian Kehidupan yang terenggut oleh napas-napas tersengal-sengal Di kejauhan sebuah bayang kasat mata berlenggok Seperti menghampiri tanah yang merah itu Sesaat kemudian menghilang tanpa bersuara Kebencian kembali terenggut oleh napas-napas tersengal-sengal Tanah merah itu tak kukenal dahulu hingga aku melihat kebawah Hanya hehijauan pangan dan bebuahan yang terlihat Rupa warna dan wewangian menghiasi udara sejuk Menggugah rasa dahaga oleh sebentuk buah ranum Hingga orang-orang asing yang tak kukenal itu hadir Setelan tuksedo yang tak jamak di tanah merah itu Memandang sejauh mata entah berpikir apa kemudian lekas m...